Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu daerah di Indonesia yang mempunyai jenis bentang alam yang beraneka ragam, salah satunya adalah bentang alam eolian. Bentang alam eolian merupakan bentang alam yang terbentuk karena adanya aktifitas angin, contohnya adalah gumuk pasir dengan tipe barchan. Gumuk pasir tipe ini terdapat di daerah Parangkusumo, Bantul.
Gumuk pasir tipe barchan hanya ada pada dua lokasi saja di dunia, yakni gumuk pasir di Parangkusumo dan gumuk pasir di Meksiko. Terbentuknya gumuk pasir ini membutuhkan proses alami yang sangat lama, namun keberadaan gumuk pasir Parangkusumo ini semakin terancam. Terancamnya keberadaan gumuk pasir tersebut dikarenakan meningkatnya aktivitas manusia dan populasi vegetasi yang berfungsi sebagai penahan angin pada kawasan tersebut.
“Terjadi perubahan pola serta volume yang dapat mengancam kelestarian gumuk pasir Parangkusumo saat ini,” kata Rachmadhiya Salsabila, mahasiswa Departemen Teknik Geodesi Fakultas Teknik UGM, Senin (13/6) di UGM.
Bila, begitu biasa ia disapa, menyebutkan bahwa berdasarkan studi penelitian sebelumnya ada beberapa penyebab perubahan pola dan morfologi gumuk pasir tersebut, seperti populasi vegetasi penahan angin yang berlebihan, pembentukan daerah pariwisata, dan pengaruh musim. Kegiatan tersebut menyebabkan adanya perubahan baik dari pola kontur maupun perubahan volume pada gumuk pasir.
Kondisi ini menggerakkan Bila dan empat temannya dari FT UGM, yakni Galih Yudha Wahyu Saputra, Ghotfani Kaukabi, Rachmat Hidayat, serta Anisah melakukan penelitian guna menunjang kegiatan pelestarian gumuk pasir secara berkelanjutan. Mereka berusaha membuat pemodelan 3D yang disertai dengan data spasial yang lengkap.
Galih menyatakan bahwa sampai saat ini belum ditemukan model 3 dimensi (3D) dari Gumuk Pasir Parangkusumo yang dapat digunakan untuk analisis lebih lanjut. Data tentang gumuk pasir yang ada selama ini hanya berupa berkurangnya luas wilayah gumuk pasir. Sementara itu, data untuk analisis lebih lanjut mengenai perubahan pola kontur dan volume dari gumuk pasir belum tersedia.
Mereka pun bergerak dengan meneliti lebih intensif dan membuat pemodelan 3D kawasan gumuk pasir Parangkusumo. Kelima mahasiswa ini memakai alat Terrestrial Laser Scanner (TLS) dalam membuat model 3D gumuk pasir. Hasil pengukuran menggunakan alat tersebut menghasilkan model 3D berupa pointcloud dengan sistem koordinat 3D serta mempunyai tingkat ketelitian yang tinggi.
“Model 3D ini dapat memvisualisasikan kondisi gumuk pasir sehingga dapat dilihat perubahan pola dan morfologi gumuk pasir,” tambah Rachmat.
Melalui model 3D ini juga bisa digunakan sebagai bahan analisis perubahan pola kontur dan volume gumuk pasir yang terjadi secara spasio temporal. Hasil ini pun dapat dijadikan sebagai kajian teknis untuk membuat payung hukum dalam upaya perlindungan kelestarian gumuk pasir Parangkusumo dari keberadaan manusia yang mengganggu keberadaan gumuk pasir ini. (Humas UGM/Ika)