“Mewujudkan Masa Depan Tanpa Pekerja Anak” (Future without Child Labour) tak lain merupakan upaya dunia internasional guna menanggani persoalan pekerja anak yang hingga kini realistasnya masih memprihatinkan. Tak mau ketinggalan, pemerintah pun berkomitmen untuk mewujudkan “Bebas Pekerja Anak” pada 2022. Namun, tanpa upaya peningkatan kesadaran pada komunitas atau masyarakat tentang isu pekerja anak, cita-cita tersebut tampak mustahil.
Pemerintah sejatinya sudah menyusun sekian kebijakan serta strategi terkait penghapusan pekerja anak, misalnya melalui Peta Jalan (roadmap) Pencapaian Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak (BPTA) Tahun 2016 maupun Rencana Aksi Nasional (RAN) Penghapusan BPTA. Namun, peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada Mada, Novi Widyaningrum, M.A., mengatakan capaian tersebut menjadi kurang efektif apabila belum ada pemahaman tentang pekerja anak dan hak anak pada level komunitas atau masyarakat.
Menurut Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Anak, pekerja anak adalah yang berumur di bawah usia 18 tahun dan melakukan segala jenis pekerjaan yang memiliki sifat atau intesitas yang mengganggu pendidikan, membahayakan keselamatan, kesehatan serta tumbuh kembangnya. Pada situasi sosial masyarakat, ada kecenderungan sikap permisif dari orang tua terhadap anak-anaknya yang bekerja. Anak ikut bekerja dengan alasan untuk membantu meringankan beban orang tua.
“Sistemnya sudah dibuat sedemikian rupa oleh negara, tapi belum benar-benar menyentuh aspek kulturnya. Ini adalah jalan panjang, bagaimana mengubah pola pikir atau mindset terutama orang tua,” ungkap Novi, Senin (13/6) dalam siaran pers peringatan Hari Internasional Menentang Pekerja Anak, 12 Juni 2016 .
Berkaca pada studi kualitatif yang dilakukan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM yang pernah dilakukan di tahun 2014 pada pekerja anak di kebun tembakau, didapatkan pengakuan yang mengejutkan. Hasil studi menunjukkan hampir separuh dari informan yang berjumlah 24 pekerja anak tidak berminat untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya. Bagi mereka, masa depan akan terjamin saat telaten bekerja di kebun tembakau sehingga tak mengherankan bila ada dari mereka yang yakin untuk tidak meneruskan sekolah dan memilih bekerja.
Ketiadaan data yang valid tentang jumlah pekerja anak di Indonesia menunjukkan bahwa fenomena ini merupakan gunung es. Oleh karena itu, identifikasi pekerja anak harus dilakukan di level komunitas oleh masyarakat sendiri. Proses musrenbang (musyawarah perencanaan pembangunan) kini sudah melibatkan masyarakat. Masyarakat bisa didorong untuk mengidentifikasi adanya pekerja anak dan membuat perencanaan terkait penghapusan pekerja anak di desa atau lingkungannya. (Humas UGM/Tri)