Melindungi segenap warga negara Indonesia merupakan tugas dari negara. Termasuk diantaranya melindungi warga negara dan pelajar yang berada di luar negeri. Meski begitu, Indonesia hingga kini belum memiliki peraturan perundang-undangan ataupun peraturan lain yang secara khusus mengatur mengenai perlindungan hukum pelajar di luar negeri.
“Sementara kita tahu, keamanan pelajar Indonesia di luar negeri terkadang berbenturan dengan situasi-situasi tertentu, seperti konflik bersenjata internasional. Hal ini tentu memerlukan perhatian,” ujar Mokhammad Ardafillah, mahasiswa Fakultas Hukum UGM, Rabu (15/6).
Seperti konflik bersenjata di Yaman yang berlangsung berlarut-larut. Konflik di Yaman yang terjadi sejak 2015 silam merupakan salah satu contoh konflik bersenjata internal yang menjadi konflik bersenjata internasional.
Akibat konflik, ribuan WNI termasuk pelajar Indonesia di Yaman terpaksa dievakuasi oleh Kementerian Luar Negeri. Karena itu, mengingat situasi politik dan keamanan yang tidak selalu kondusif, diperlukan aturan yang memberi rasa aman pelajar di luar negeri.
Mokh Arda mengatakan perlindungan hukum pelajar di luar negeri selama ini merujuk pada perlindungan warga negara di luar negeri pada saat damai. Selain itu, merujuk pula pada ketentuan hukum humaniter internasional, yaitu di saat konflik bersenjata pelajar dalam posisi sebagai masyarakat sipil, mereka harus dilindungi dan tidak boleh diserang.
Melihat kondisi ini, Mokh Arda bersama tiga rekannya dari Fakultas Hukum UGM, mengkaji perlindungan hukum pelajar Indoensia di luar negeri, terutama yang berada di negara yang mengalami konflik bersenjata. Mereka adalah Elisabet Regitta W, Yanottama Patria A, dan Siti Aan Kumaenah yang tergabung dalam Tim Program Kreatifitas Mahasiswa Penelitian Sosial Humaniora (PKM-PSH) dengan dosen pembimbing Dr. Harry Supriyono.
“Sudah menjadi kewajiban negara untuk memberikan perlindungan kepada warga negara Indonesia. Hal ini berdasarkan adanya asas perlindungan maksimum. Tepatnya, asas yang menentukan bahwa pemerintah wajib memberikan perlindungan penuh kepada setiap WNI dalam keadaan apapun baik di dalam maupun di luar negeri,” papar Mokh Arda.
Untuk menghasilkan kajian perlindungan yang komprehensif, Mokh Arda mengaku tim mahasiswa FH UGM melakukan penelitian dengan melibatkan responden mahasiswa Indonesia yang menempuh studi di Al Aghaff University. Mereka adalah mahasiswa-mahasiswa yang sudah dipulangkan ke Indonesia maupun yang masih berada di Yaman.
Dengan bantuan dari Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Hadhramaut Yaman, tim FH UGM melakukan mewawancara dengan beberapa narasumber yang mencakup Ketua Tim Evakuasi WNI di Yaman, Direktorat Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, Staf Kedutaan Besar Yaman di Jakarta Indonesia, Atase Bidang Kebudayaan dan Pendidikan KBRI Kairo 2008-2013 serta Dosen Hukum Internasional Universitas Gadjah Mada.
Kesimpulannya, perlindungan hukum terhadap WNI dan badan hukum Indonesia (BHI) di luar negeri dilaksanakan oleh Kementerian Luar Negeri, secara spesifik oleh Direktorat Perlindungan WNI dan BHI. Adapun perlindungan yang diberikan berupa perlindungan hak WNI dan BHI, bantuan hukum di bidang perdata dan pidana serta bidang ketenagakerjaan, penanganan permohonan perlindungan WNI dan BHI di luar negeri, konsultasi perlindungan WNI dan BHI di luar negeri, serta pendampingan WNI bermasalah.
“Selain itu secara berkesinambungan disampaikan informasi perkembangan kasus WNI dan BHI, bantuan pemulangan WNI bermasalah ke daerah asal, dan bantuan pemulangan jenazah WNI ke daerah asal,” jelas Mokh Arda.
Anggota tim lainnya, Elisabeth Regitta W, menambahkan kewajiban melindungi warga negara yang termasuk di dalamnya pelajar sebenarnya telah tertuang di dalam International Covenant on Civil and Political Rights, tepatnya pada Pasal 17. Dalam pasal itu dinyatakan bahwa setiap orang memiliki hak atas perlindungan hukum terhadap berbagai bentuk campur tangan, gangguan, serta serangan.
Sementara perlindungan pelajar dalam masa konflik bersenjata, baik nasional maupun internasional, merujuk pada ketentuan hukum humaniter internasional. Hukum Humaniter Internasional membagi subjek di dalamnya menjadi dua, yakni kombatan atau pihak yang dapat dijadikan objek serangan serta penduduk sipil yang tidak boleh dijadikan objek serangan.
“Pelajar sendiri masuk pada penduduk sipil sehingga tidak boleh dijadikan objek serangan. Namun demikian, Hukum Humaniter Internasional memberi ketentuan bahwa penduduk sipil yang secara aktif melakukan serangan statusnya berubah, yang semula tidak boleh diserang menjadi dapat dijadikan objek serangan,” kata Elisabeth. (Humas UGM/ Agung)