Arus balik mematikan (rip current) di Pantai Parangtritis telah menelan banyak korban jiwa. Data SAR Parangtritis tahun 2016 menyebutkan bahwa jumlah kasus kecelakaan laut di Parangtritis dari tahun 1991 hingga pertengahan Maret 2016 mencapai 607 kasus, dengan 238 di antaranya mengakibatkan korban meninggal dunia atau hilang karena arus laut.
Arus balik yang dapat menyeret korban ke dalam laut dengan kecepatan arusnya yang tinggi masih sulit teridentifikasi, dan lokasinya pun dapat berubah dalam kurun waktu sekitar tiga jam akibat perubahan kondisi dan arah angin.
Untuk mengatasi persoalan ini, mahasiswa Program Studi Kartografi dan Penginderaan Jauh, Fakultas Geografi UGM mengembangkan Sistem Monitoring Pantai Secara Multitemporal, “SIMON TEMPLAR”. Sistem ini merupakan salah satu proyek yang dihasilkan mahasiswa UGM melalui PKM Bidang Karsa Cipta yang didanai oleh Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi RI.
Muchsin Nur Wachid, Anggini Nur Azizah, Deha Agus Umarhadi, serta Restu Dwi Cahyo mengembangkan sistem ini untuk mengidentifikasi arus balik mematikan (rip current) dengan menggunakan kamera yang diterbangkan oleh layang-layang atau biasa disebut sebagai kite aerial photography.
Proses identifikasi SIMON TEMPLAR diawali dengan menerbangkan kite aerial photography di area rawan arus balik mematikan yang ingin dipantau. Pemotretan lapangan dibarengi dengan pemasangan GCP (Ground Control Point) dari lokasi-lokasi tertentu sebagai titik ikat penentuan posisi pasti letak arus balik mematikan, sehingga titik-titik lokasi arus tersebut dapat diketahui dengan mudah menggunakan GPS. Titik GCP ini selanjutnya ditandai dengan kain putih agar dapat diidentifikasi dari foto.
Foto hasil pemotretan kemudian akan diolah dan digabungkan dengan menggunakan software, untuk kemudian diunggah ke dalam situs simontemplar-indonesia.com yang dapat diakses oleh masyarakat luas.
“Kelebihan SIMON TEMPLAR antara lain memiliki jangkauan pandang yang lebih luas daripada pemantauan manual yang saat ini dilakukann melalui pos-pos SAR Parangtritis, tingkat akurasi yang tinggi, kemudahan akses informasi bagi pengguna, serta pengadaan dan pengoperasian yang memakan biaya relatif murah,” jelas Anggini, Rabu (15/6).
Penggunaan sistem ini, menurutnya, memang bukan tanpa kendala. Angin menjadi kendala utama pada sistem ini, karena kecepatan angin minimal seringkali tidak terpenuhi untuk menerbangkan kite aerial photography. Meski demikian, teknologi ini dapat digunakan dan terus dikembangkan sebagai sebuah inovasi dalam sistem peringatan dini di kawasan pantai.
“Publikasi lokasi rip current di Pantai Parangtritis diharapakan dapat digunakan sebagai early warning sistem atau peringatan dini bagi masyarakat supaya lebih waspada akan keberadaan arus berbahaya tersebut,” ujar Muchsin menambahkan. (Humas UGM/Gloria)