Seorang pemimpin memiliki peran sentral untuk membawa masyarakat yang dipimpinnya agar mencapai visi yang diidam-idamkan. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa krisis kepemimpinan telah melanda banyak organisasi termasuk lembaga pemerintahan di Indonesia. Tidak sedikit aktor-aktor pemerintahan yang bertindak amoral dengan melakukan korupsi dan saling berebut kursi pemerintahan.
“Perilaku pemimpin yang demikian telah memunculkan ketidakpercayaan sebagian rakyat Indonesia terhadap pemimpin mereka sendiri,” tegas Abdullah Arif, mahasiswa Fakultas Filsafat UGM, Kamis (16/6).
Survei Edelman Trust Barometer 2016 tentang kepercayaan publik mengungkapkan adanya penurunan tingkat kepercayaan publik Indonesia terhadap pemerintah. Tingkat kepercayaan publik pada tahun ini menurun sebanyak 7 poin ke angka 58%.
Berangkat dari keprihatinan ini, Arif bersama Hendrik Kurniawan Wibowo (Fakultas Filsafat), Shinta Mudrikah (Fakultas Ilmu Budaya), Ayu Wijayanti (Fakultas Ilmu Budaya), dan Muhammad Arridho Rifaldo (Fakultas Ekonomi dan Bisnis) bergabung dalam Program Kreativitas Mahasiswa Penelitian Sosio Humaniora (PKM-PSH) yang fokus pada pencarian nilai-nilai luhur kepemimpinan yang ada dalam masyarakat Tengger di Ngadisari yang dapat diimplementasikan dalam sistem kepemimpinan di Indonesia.
Tim PKM yang didampingi oleh Reno Wikandaru, S.Fil, M.Fil. ini meneliti nilai rasaning manunggal yang menjadi gagasan dasar kepemimpinan di masyarakat Tengger. Rasaning manunggal merupakan esensi utama yang membangun keseimbangan dan keselarasan hidup masyarakat Tengger sehingga kehidupan masyarakat Tengger menjadi damai dan tenteram. Rasaning manunggal tidak hanya diartikan saling bersatu antar manusia, tetapi juga bersatunya manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhan.
“Kami mencoba untuk menguraikan nilai rasaning manunggal ini ke dalam nilai-nilai yang mudah dipahami oleh masyarakat Indonesia. Akan tetapi, nilai-nilai tersebut tidak lepas dari pentingnya spiritualitas dalam kehidupan sehari-hari. Dengan adanya nilai kepemimpinan yang erat dengan spiritualitas, rasanya hal ini tidak bertentangan dengan sila pertama Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa,” jelas Arif.
Kepedulian pada generasi masa depan, tanggung jawab, ide keharmonisan, dan menjaga warisan leluhur adalah etos dari nilai rasaning manunggal. Sifat-sifat tersebut dapat diadopsi untuk sistem pemerintahan di Indonesia sebab terdapat unsur keberlanjutan (sustainable) yang meliputi SDM dan SDA, menjadi tujuan utama pergerakan kebijakan di Indonesia yang dihasilkan oleh pemerintah. Sifat-sifat tersebut juga menuntut latar belakang spiritual yang kuat dari para pemimpin karena pada dasarnya nilai-nilai pada agama berfungsi untuk mengatur kehidupan manusia agar tenteram dan damai serta berfungsi menjaga integritas manusia itu sendiri. (Humas UGM/Gloria)