Pasal 29 ayat 2 UUD 1945 menandaskan bahwa Indonesia merupakan sebuah negara yang sangat menghargai keberagaman dan menjunjung Hak Asasi Manusia, termasuk hak kebebasan dalam beragama. Oleh karena itu, tidak sedikit agama-agama maupun kepercayaan-kepercayaan yang muncul dan berkembang secara leluasa di Indonesia.
Salah satunya, Baha’i sebagai salah satu agama yang mulai berkembang di Indonesia. Sempat dianggap sekte yang sesat, karena berbagai ritus keagamaan Baha’I terlihat serupa dengan Islam, seperti sembahyang wajib, penggunaan Bahasa Arab sebagai bahasa peribadatan, puasa dan wisata rohani.
Meski begitu, secara aspek akidah tidak sama. Dasar dari ajaran-ajaran agama baha’i adalah ajaran untuk menghargai pluralitas. Tidak hanya pluralitas etnis, politik atau agama, tetapi dalam makna yang lebih luas, yaitu pluralitas sosial.
Pemeluk agama Baha’i menghargai keberagaman latar belakang, status sosial, ras serta agama karena sudah menjadi pandangan hidup yang telah diajarkan dan wajib dilaksanakan. Penerapan ajaran pluralitas sosial merupakan usaha pemeluk Agama Baha’i untuk menjaga kerukunan dan mewujudkan perdamaian manusia.
Adalah mahasiswa UGM, yaitu Maulana Zakariyya, Ghilman Nafadza H (Fakultas Filsafat (2014), Muhammad Naufal Annabil (Fakultas Ilmu Budaya 2014), Fety Hikmatul Umami (Fakultas Ilmu Budaya 2015) dan Achla Himmah (Fakultas Psikologi 2015) mengkaji fenomena ini. Bagi kelima mahasiswa UGM ini, fenomena tersebut menarik di tengah banyaknya permasalahan yang terjadi di Indonesia, pandangan hidup umat Baha’i di Desa Cebolek, Margoyoso, Pati bisa menjadi jawaban permasalahan terkait tindakan-tindakan intoleran.
“Berdasarkan fenomena tersebut, perspektif sudut pandang yang efektif untuk mengkaji nilai ‘Social Plurality’ dari pemeluk Agama Baha’i adalah Filsafat Sosial. Hal tersebut juga sebagai alasan dalam menentukan “Social Plurality: Tinjauan Filsafat Sosial Terhadap Pandangan Hidup Pemeluk Agama Baha’i Di Desa Cibolek, Margoyoso, Pati” sebagai judul penelitian kami,” ujar Ghilman Nafadza Hakim, salah anggota Program Kreativitas Mahasiswa Penelitian Sosial Humaniora, di Fakultas Filsafat UGM, Kamis (16/6).
Menurut Ghilman posisi agama Baha’i di Desa Cebolek, Margoyoso, Pati sebagai komunitas minoritas diantara warga masyarakat yang 99,5 persen memeluk agama Islam. Meski begitu, kondisi ini justru tidak menimbulkan suatu perpecahan dan konflik antar dua kubu yang berbeda kekuatan.
“Di sinilah perlunya kecerdasan dalam menentukan sikap dan perilaku baik dalam lingkungan masyarakat, sehingga mampu mencegah munculnya diskriminasi. Dalam hal tersebut, umat agama Baha’i di Desa Cebolek, Margoyoso, Pati sangat memegang teguh prinsip-prinsip pluralitas sosial sebagai pandangan hidupnya,” tutur Ghilman.
Maulana Zakariyya menambahkan pandangan hidup mengenai pluralitas sosial yang telah diimplementasikan oleh umat agama Baha’i berdampak positif terhadap kerukunan dan kedamaian di lingkungan masyarakat. Hal tersebut tidak hanya mampu memberikan perasaan dan kondisi yang kondusif terhadap warga sekitar, umat agama Baha’i pun telah memberikan kontribusi yang bermanfaat bagi lingkungan sekitar.
“Sebagai komunitas yang menjadi minoritas, lantas tidak membuat umat agama Baha’i menjadi terisolasi dan mengurung diri dari komunitas lain. Itulah dasar yang menjiwai pandangan hidup umat agama Baha’i dengan mengutamakan nilai pluralitas sosial,” papar Maulana.
Lebih lanjut Maulana menjelaskan nilai-nilai pluralitas sosial itu sendiri terbentuk bukan karena tidak ada sebabnya. Baha’ullah sebagai utusan agama Baha’i-lah yang menyerukannya kepada mukmin Baha’i. Nilai-nilai pluralitas sosial tersebut telah tercantum dalam wujud prinsip-prinsip rohani umat Baha’i yang ada di dalam beberapa ayat kitab suci Al-Aqdas.
Seluruh ajaran agama Baha’i mengajari terkait bagaimana menghargai perbedaan yang ada dalam masyarakat sehingga ajaran tersebut dijadikan sebagai pedoman hidup umat agama Baha’i di Desa Cebolek. Umat agama Baha’i disana hidup berdampingan dengan baik dengan seluruh masyarakat yang mayoritas beragama Islam.
“Sejatinya pandangan umat Agama Baha’i ini dapat dijadikan pembelajaran bagi seluruh masyarakat di Indonesia terkait kehidupan bermasyarakat dan beragama. Dimana dalam hidup dapat saling menghargai dan menghormati antar sesama,” tandas Maulana. (Humas UGM/ Agung)