Desa Kemujan yang terletak di Kecamatan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, merupakan desa yang penuh potensi, baik potensi sumber daya manusia maupun sumber daya alamnya. Namun, potensi-potensi tersebut belum tertangani dengan baik. Hal ini mendorong lima mahasiswa UGM untuk memberikan pemberdayaan kepada para ibu rumah tangga di desa ini melalui pengolahan cumi menjadi camilan khas Karimunjawa.
“Itulah potensi yang kami lirik, sumber bahan produk dan kemampuan mengolah. Ibu-ibu di desa tersebut sangat giat dan berbakat dalam mengolah berbagai bahan, terutama hasil laut. Namun, ternyata mereka memiliki kendala pada beberapa aspek, yaitu pemasaran, pengemasan, dan konsistensi dalam pembuatan produk,” ujar Trias Indah Lailasari, Jumat (17/6).
Bersama Wiwik Indriani, Anang Wahif, M. Shofwat Syauqi, dan Donnie Koes Nugraha, ia memberikan pengetahuan pada ibu-ibu tentang cara pemasaran dan pengemasan, serta pengembangan jejaring dan kemitraan baik dalam skala lokal, regional, maupun global. Tidak hanya mendampingi dari segi teknis, mereka juga memperhatikan aspek hubungan antar individu dalam kelompok serta manajemen sumber daya manusia.
”Pemberian dorongan, motivasi, dan membantu menetukan pilihan keputusan terkait produksi pada tahap awal menjadi hal yang penting. Bila kepercayaan diri Ibu-ibu PKK Kemujan sudah terbentuk, semangat pun akan terbentuk. Ibu-ibu PKK Kemujan hanya perlu pemantik dan sedikit bantuan membuka pintu pasar,” imbuh Trias.
Kemelut Perlindungan Satwa Sirkus di Jawa Tengah
Sementara itu, tiga mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, Odam Asdi Artosa, Shifa Asma Ahsanitaqwim, dan Hermawan Bagaskara, serta dua mahasiswa Fakultas Hukum UGM, Afriza Nandira dan Adita Putri Hapsari, melakukan penelitian terhadap perlindungan hak-hak satwa sirkus di Provinsi Jawa Tengah.
Peraturan perundang-undangan mengatur bahwa penyelenggaraan sirkus keliling maupun sirkus tetap tidak dapat diselenggarakan oleh sembarang penyelenggara, melainkan hanya oleh wadah yang telah dilegalkan oleh pemerintah sebagai lembaga konservasi. Pedoman Etika dan Kesejahteraan Hewan di Lembaga Konservasi pun telah memuat SOP yang meliputi seluk-beluk penyelenggaraan sirkus seperti waktu show satwa, sarana prasarana kehidupan satwa, alat angkut satwa, pakan satwa, hingga jam istirahat satwa.
Dari hasil monitoring yang dilakukan pemerintah, dua lembaga konservasi sekaligus penyelenggara sirkus yang ada di Jawa Tengah sejatinya telah dinyatakan lolos uji secara normatif. Meski demikian, lembaga swadaya masyarakat yang fokus terhadap kasus eksploitasi satwa sirkus kerap membuka mulut bahwa sebenarnya eksploitasi telah terjadi.
“Lembaga swadaya masyarakat menganggap bahwa segala jenis satwa termasuk satwa sirkus tetap harus hidup di habitat aslinya. Jika hewan-hewan sirkus dibiarkan berlarut-larut hidup dalam habitat asing, hal tersebut bisa digolongkan sebagai sebuah eksploitasi,” jelas Adita.
Ia menambahkan lembaga swadaya masyarakat juga mengeluarkan beberapa temuan di antaranya terkait tindakan manipulasi data dan pengingkaran SOP tentang perolehan hewan.
“Temuan yang ada menunjukkan bahwa peraturan perundang-undangan di Indonesia, khususnya tentang penyelenggaraan sirkus, masih memiliki banyak celah yang dapat dimanfaatkan oleh oknum maupun pihak yang tidak bertanggungjawab. Celah tersebut antara lain tidak adanya parameter macam-macam eksploitasi yang dilakukan oleh penyelenggara sirkus secara konkret,” paparnya. (Humas UGM/Gloria)