Tata ruang yang disusun harus terintegrasi dengan lokasi zona bencana, seperti rentan tanah longsor dan banjir. Selain itu, diperlukan sikap patuh dari warga di sekitar zona bahaya terhadap rambu-rambu yang telah terpasang. Hal ini diperlukan untuk menghindari timbulnya korban jiwa, khususnya akibat longsor, seperti yang terjadi di Purworejo baru-baru ini.
“Perlu mengedukasi masyarakat terhadap zona bahaya tersebut agar mereka taat dan mematuhi rambu-rambu yang ada,”kata pengamat kebencanaan UGM, Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, M.Sc., Ph.D., Selasa (21/6).
Dwikorita mengatakan pemetaan zona bahaya bencana telah disusun oleh masing-masing daerah. Pemetaan tersebut seharusnya kemudian diintegrasikan ke pemetaan tata ruang. Jika masyarakat patuh dengan tata ruang dan rambu-rambu pada zona bahaya tersebut maka tidak akan terjadi munculnya korban jiwa.
“Zona bahaya misalnya bukan untuk lokasi budidaya tanaman atau permukiman. Dan itu masyarakat harus patuh,”paparnya.
Jika masyarakat ‘terpaksa’ tinggal di daerah yang rentan bencana maka mereka harus beradaptasi. Misalnya, mengetahui tanda-tanda lereng yang berbahaya, jangan berada di lokasi rawan longsor ketika atau setelah hujan, jangan menanam tanaman yang ‘berat’ seperti jati atau bambu, maupun jangan ‘memotong’ kaki lereng bukit.
Dwikorita melihat bencana longsor di Purworejo kemarin dipicu oleh beberapa hal, seperti kondisi lereng bukit yang cukup tajam, susunan tanah yang gembur serta curah hujan yang cukup tinggi. Curah hujan di Purworejo kemarin, menurut Dwikorita, mencapai 130 milimeter.
“Longsor Banjarnegara dulu curah hujannya mencapai 113 milimeter per hari. Longsor di Purworejo kemarin dipicu oleh beberapa faktor tersebut,”katanya.
Senada dengan itu, pakar kebencanaan UGM lainnya, Dr. Agung Setianto., menambahkan lokasi rawan bencana cukup merata di Jawa Tengah, seperti Purworejo, Kebumen, Wonosobo, Temanggung, Semarang, Karanganyar, Batang, Magelang, dll. Agung mengakui adanya kendala dalam mitigasi bencana diantaranya ketersediaan data yang belum detail. Selain itu, secara sosial masyarakat yang tinggal di sekitar daerah rawan bencana tidak mau pindah ke lokasi yang lebih aman.
“Misalnya, peta geologi. Data yang tersedianya tidak detail,”imbuh Agung. (Humas UGM/Satria;foto: Devi)