Umumnya, kota-kota di Asia yang dilanda banjir dibelah oleh sungai besar. Termasuk di Indonesia, tepatnya di Surabaya yang dibelah oleh Kali Mas dan dikelilingi banyak sungai kecil, telah menunjukkan gejala kerentanan terhadap banjir sejak abad ke-19.
Saat itu, banjir masih terjadi dalam skala kecil dengan intensitas rendah. Namun, selama paruh kedua abad ke-20, banjir di Kota Surabaya menunjukkan eskalasi dan siklus yang semakin pendek.
Sarkawi B. Husain, S.S., M.Hum, dosen Universitas Airlangga, Surabaya, berpendapat eskalasi dan siklus banjir yang semakin pendek ini dikarenakan perubahan dan degradasi lingkungan perkotaan seperti faktor antropogenik, yaitu tindakan pemerintah dan masyarakat yang tidak mengindahkan fungsi-fungsi ekologis lahan.
“Bertitik tolak dari hal itu, maka penelitian ini juga bertujuan untuk menjelaskan terjadinya perubahan dan degradasi lingkungan maupun faktor-faktor penyebab yang mengakibatkan terjadinya eskalasi dan siklus banjir yang semakin pendek di kota Surabaya paruh kedua abad 20,” ujar Sarkawi dalam ujian terbuka program doktor di Fakultas Ilmu Budaya UGM, Senin (27/6).
Menurut Sarkawi terjadinya eskalasi dan siklus banjir yang semakin pendek di Kota Surabaya selama paruh kedua abad ke-20, karena perubahan dan degradasi lingkungan perkotaan yang masif selama lima puluh tahun terakhir. Hal ini dikarenakan faktor antropogenik, yakni perpaduan antara masalah-masalah sosial, berupa kegagalan pemerintah dalam mengelola lingkungan perkotaan, tekanan penduduk, dan tindakan vandalisme lingkungan oleh sekelompok masyarakat.
“Kondisi ini pun semakin diperparah oleh kondisi topografi dan posisi kota yang berada di pesisir Jawa, serta iklim dan curah hujan,” tutur Sarkawi.
Sarkawi menjelaskan selama paruh kedua abad ke-20, eskalasi dan siklus banjir yang semakin pendek di Kota Surabaya dapat dibagi dalam dua periode. Periode 1951-1976, ketika wilayah banjir mulai bertambah, durasi yang lama, tingginya air, serta frekuensi banjir yang menunjukkan peningkatan dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya.
Periode 1977-2000, saat dimana banjir berubah menjadi “hantu”. Berbeda dengan periode sebelum-sebelumnya yang cenderung masih sporadis, maka di periode ini atau 25 tahun terakhir abad ke-20, banjir menjadi ancaman rutin dan lebih merata.
Jika dalam periode pertama, terdapat 105 titik genangan, maka di periode kedua meningkat menjadi 325 titik atau naik 200 persen. Demikian pula dengan ketinggian air, periode pertama rata-rata hanya 1 meter meningkat menjadi 1,5 meter dalam periode kedua.
Sementara lama genangan, periode pertama rata-rata hanya 24 jam maka di periode kedua mencapai 72 jam, bahkan di beberapa tempat mencapai 1 minggu hingga 4 bulan. Sedangkan terkait frekuensi banjir, maka pada periode pertama hanya 1-2 kali dalam setahun, dalam periode kedua meningkat menjadi 1 – 4 kali.
“Kegagalan pemerintah dalam mengelola lingkungan perkotaan ini pada awalnya disebabkan oleh kesulitan ekonomi dan tidak stabilnya situasi politik pasca revolusi kemerdekaan,” terang laki-laki kelahiran Tolitoli, 29 Juli 1971 itu.
Mempertahankan disertasi “Mengubah dan Merusak Lingkungan Mengundang Air Bah: Banjir di Kota Surabaya pada Paruh Kedua Abad ke-20”, Sarkawi lebih lanjut menerangkan kegagalan pemerintah dalam mengelola lingkungan perkotaan ini, akibat kesulitan ekonomi dan terjadinya pertentangan politik dalam masyarakat yang terus berlangsung di periode-periode berikutnya. Kondisi ini diperparah oleh tindakan kolutif sepanjang Orde Baru antara pemerintah dan pemilik modal.
“Mereka bertindak kolutif dengan menggerogoti banyak wilayah yang seharusnya berfungsi sebagai penyeimbang ekologis lahan,” terang Sarkawi.
Sarkawi berpandangan kesulitan ekonomi tahun 1950 – 1960-an berdampak terjadinya perubahan struktur demografi di Kota Surabaya. Perubahan tersebut tidak hanya disebabkan arus balik pengungsi yang sebelumnya mengungsi di beberapa daerah akibat situasi keamanan yang tidak kondusif pada saat revolusi, namun juga oleh para migran yang hendak mencari penghidupan baru di kota.
“Akibat ketidakmampuan pemerintah dalam mengendalikan, maka pertambahan jumlah penduduk tidak hanya menimbulkan berbagai masalah sosial, namun juga menjadi penyebab penting terjadinya tekanan terhadap kualitas lingkungan perkotaan,” paparnya.
Berbagai upaya pengendalian memang telah dilakukan pemerintah, namun kebijakan dan tidakan pemerintah bersifat paradoks, simtomatis, parsial dan tidak terkoneksi dengan masalah-masalah lingkungan. Akibatnya, banjir sebagai salah satu bencana hidrometereologi semakin banyak menimbulkan kerugian dan dari waktu ke waktu semakin meningkat.
” Normalisasi sungai dan saluran, pengoperasian pompa banjir dan berbagai upaya lainnya terbukti tidak mampu membebaskan Surabaya dari banjir. Karena itu, pemerintah perlu upaya pengendalian banjir berbasis management control, upaya pengendalian yang lebih memperhatikan aspek yang menjadi akar persoalan,” pungkasnya. (Humas UGM/ Agung)