Dalam dua dekade terakhir, urbanisasi telah mentransformasi struktur Kota Yogyakarta. Dengan tingginya pertumbuhan populasi, jumlah pemukiman, hotel, pusat perbelanjaan, maupun kendaraan bermotor juga semakin meningkat. Pertumbuhan kota yang begitu pesat ini dapat memunculkan risiko pencemaran lingkungan, termasuk kontaminasi timah.
“Kontaminasi timah dapat diturunkan dari sumber natural atau sumber antropogenik. Peneliti sebelumnya telah menjelaskan mengenai kemungkinan kontaminasi timah di permukaan tanah yang disebabkan oleh hasil pembakaran bahan bakar dari kendaraan bermotor,” ujar dosen Departemen Geologi Universitas Yangon Myanmar, Saw Aung Zaw Aye, saat mengikuti ujian terbuka program doktor di Fakultas Teknik UGM, Senin (27/6).
Dalam disertasinya ia meneliti konsentrasi timah pada tanah di zona tak jenuh di kota Yogyakarta, untuk mengidentifikasi fraksi geokimia dan perilaku timah pada tanah, serta menentukan sumber dari kontaminasi tersebut. Untuk itu, ia mengumpulkan sampel dari beberapa lokasi seperti area sekitar Gunung Merapi sebagai area alami, Pakem sebagai area pertanian, serta wilayah perkotaan sebagai area urban.
Hasil penelitian yang ia lakukan menunjukkan bahwa konsentrasi timah di Kota Yogyakarta tiga kali lebih tinggi dibandingkan konsentrasi timah di wilayah Pakem, dan empat kali lebih tinggi dibandingkan di area Merapi. Ia menjelaskan bahwa kontaminasi timah di area perkotaan dan Pakem disebabkan oleh sumber antropogenik, sementara di Merapi kontaminasi lebih disebabkan oleh sumber natural, yaitu sebagai akibat dari aktivitas vulkanis.
“Diindikasikan bahwa timah menjadi potensi kontaminasi di Kota Yogyakarta sebagai efek dari aktivitas manusia. Konsentrasi timah di area urban meningkat seiring dengan meningkatnya pembangunan urban,” jelasnya.
Meski konsentrasi timah belum sampai pada tingkat yang mengkhawatirkan, hal ini tetap perlu menjadi perhatian karena timah merupakan salah satu logam yang beracun dan dapat menimbulkan berbagai risiko bagi kesehatan manusia maupun bagi kelestarian lingkungan. Oleh karena itu, ia menyatakan pentingnya pengawasan terhadap area perkotaan yang berpotensi terhadap kontaminasi. Kesadaran mengenai kesehatan masyarakat terkait bahaya timah, mengingat jalur paparan dan penilaian risiko polutan juga harus diperhatikan.
“Manajemen dari area urban yang telah terkontaminasi berdasarkan tipe penggunaan tanah dan edukasi publik untuk mengurangi sumber kontaminasi dengan pengelolaan limbah yang layak, daur ulang, serta penggunaan ulang material harus dipraktikkan di area urban yang tua. Sementara itu, manajemen yang efektif perlu dirancang untuk area urban yang relatif muda demi pembangunan berkelanjutan,” paparnya. (Humas UGM/Gloria)