Pusat Studi Energi Universitas Gadjah Mada mendukung program pemerintah dalam mengejar ketertinggalan infrastruktur listrik nasional. Pasalnya, kapasitas listrik nasional yang terpasang 53 GW pada 2015 atau 210 watt per kapita, masih di bawah Singapura 2500 watt per kapita dan Malaysia sebesar 950 watt per kapita.”Program 35 GW yang dicanangkan presiden merupakan program yang harus disukseskan agar ketertinggalan infrastruktur tidak terus tertinggal,” kata pengamat kelistrikan UGM, Dr. Tumiran, kepada wartawan di PSE UGM, Senin (27/6).
Menurut Tumiran percepatan pembangunan 35 GW belum mencapai seperti yang diharapkan karena tidak adanya sinergi dan koordinasi antar instansi yang terlibat dalam pembangunan infrastruktur tersebut. Padahal, menurut Tumiran, percepatan infrastruktur listrik akan mempercepat penggunaan listrik untuk industri dan melayani kebutuhan masyarakat. ”Sektor kelistrikan harus tumbuh dan dipercepat, tanpa ini pabrik dan industri tidak tumbuh,” ujarnya.
Tumiran mecontohkan listrik di daeah luar Jawa masih sering hidup-mati (byarpet) sehingga investasi dan industri tidak tumbuh dengan baik. ”Byarpet dimana-mana terjadi di luar Jawa, itu di daerah kekurangan listrik, industri nggak bisa masuk, investasi juga nggak, syarat investasi yang ditanya dulu ketersediaan listrik harus ada,” terangnya.
Tumiran berpendapat PLN sebagai pengelola listrik nasional mampu mendorong upaya transformasi teknologi di sektor pembangkit. ”PLN harus menjadi leader dalam percepatan pembangunan 35 gigawatt,” katanya.
Sehubungan masih adanya pembangunan 34 pembangkit listrik yang mangkrak, diakui Tumiran harus dievaluasi secara menyeluruh karena tidak semua harus diakselerasi. ”Tidak semua bisa diakselerasi, jangan sampai nanti biayanya jadi mahal. Harus dievaluasi pembangkit yang mangkrak itu apakah desain sudah sesuai standar atau sudah layak memenuhi syarat engineering, perlu dievalusai terbuka, siapa yang bertanggungjawab pada investasi yang dulu. Apalagi, barang yang tergeletak kena hujan dan angin tentu mengalami kerusakan,” katanya.
Kepala PSE UGM, Dr. Deendarlianto, mengatakan selain soal listrik yang masih byarpet, pemerintah juga harus mendorong peningkatan pemanfaatan energi terbarukan apalagi target bauran energi baru dan terbarukan (EBT) mencapai 23 persen pada tahun 2025. ”Energi baru harus dioptimalkan tetapi keekonomian perlu diperhatikan,” kata Deendarlianto.
PSE UGM, katanya, terus berkomitmen mengembangkan energi terbarukan. Salah satu program yang akan dilaksanakan saat ini adalah pemanfaatan energi tenaga surya dalam peningkatan pendapatan keluarga rumah tangga miskin di kabupaten Tanjung Jabung Jambi dan Kabupaten Solok Selatan Sumbar melalui hibah senilai 16,7 milyar. “Kegiatannya akan dilakukan mulai bulan Juli ini,” ujarnya.
Pemanfataan energi terbarukan ini akan digunakan untuk fasilitas penerangan pada malam hari, mengelola limbah pertanian, perkebunan dan perikanan serta pemanfaatan energi untuk penyediaan air bersih melalui pompa air bertenaga surya.
Peneliti PSE lainnya, Dr. Rachmawan Budiarto, menambahkan bahwa pihaknya telah menggandeng komunitas lokal yang dilatih untuk mengoperasikan dan merawat teknologi yang sudah terpasang. ”Pengalaman kita selama ini masyarakat akan mudah diajak mengelola dan menjaga teknologi apabila teknologi yang diterapkan memberi dampak dan memberi nilai tambah bagi kehidupan mereka,” pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)