Di beberapa lokasi di lingkungan kampus, kita dapat menemukan tanda bercat hijau dengan tulisan titik kumpul, panah jalur evakuasi, atau tanda peringatan lainnya. Rambu-rambu yang dibuat sebagai petunjuk untuk menghadapi kondisi-kondisi darurat ini merupakan salah satu hasil dari kebijakan UGM terkait sistem Safety, Health, and Environment (SHE). Meski demikian, SHE tidak hanya mengatur mekanisme darurat dalam kondisi bencana, melainkan mencakup upaya-upaya untuk menjaga keselamatan dan kesehatan seluruh tenaga pendidik, tenaga kependidikan, mahasiswa, dan pihak-pihak lain yang terkait, serta menjaga dan melindungi kelestarian lingkungan hidup di wilayah UGM.
“SHE merupakan perilaku yang harus diikuti oleh tiap individu. Harapannya, setiap individu dapat berlaku sesuai SHE dalam kehidupan sehari-hari untuk menyelamatkan diri sendiri dari berbagai macam risiko,” ujar Kepala Pusat Keamanan dan Keselamatan Kampus (PK3), Dr Noorhadi Rahardjo, Rabu (29/6).
Di lingkungan kampus, hal ini diwujudkan melalui Kebijakan Keselamatan, Kesehatan Kerja, dan Lingkungan (K3L) UGM yang disusun melalui proses konsultasi dengan wakil civitas akademika UGM, dan didahului oleh proses identifikasi potensi bahaya pada tingkat universitas dan beberapa tingkat unit kerja. Hal ini kemudian didukung dengan pengembangan fasilitas dan infrastruktur terkait, misalnya dengan membangun jaringan hidran, penambahan kendaraan patroli, mengatur sistem parkir, membuat sistem pengolahan limbah, serta berbagai kebijakan lainnya. Meski demikian, menurut Noorhadi, fasilitas ini tidak bermanfaat tanpa adanya kesadaran dari para civitas akademika.
“Tidak semua individu di dalam kampus sadar akan pentingnya sistem SHE. Karena itu, sosialisasi menjadi salah satu hal penting yang juga kami lakukan,” ujarnya.
Dengan luas area lebih dari 300 hektar, penjagaan keamanan di wilayah kampus menjadi hal yang tidak mudah. Selain itu, akses yang terbuka bagi masyarakat umum juga menjadi tantangan tersendiri. “Kita sadar bahwa kita ada di area yang unik, tidak seperti kampus-kampus lain. UGM kampus yang betul-betul terbuka, bahkan secara fisik. Memang akan lebih mudah kalau kita buat pagar-pagar tinggi supaya tertutup, tetapi secara filosofis UGM adalah kampus kerakyatan,” ujar Kepala Bidang Keselamatan dan Kesehatan Kerja PK3, Aminudin Arhab, S.IP.
Untuk mengatasi kendala tersebut, salah satu kebijakan yang diambil adalah dengan membatasi akses masuk ke lingkungan kampus pada jam-jam tertentu. Selain itu, menurutnya, relasi dengan masyarakat di sekitar kampus juga perlu dijaga, agar mereka terdorong untuk turut menjaga keamanan lingkungan.
“Kita harus bergaul dengan tetangga-tetangga kita agar masyarakat senang dengan keberadaan UGM, bukan malah susah. Kita perlu berkontribusi pada masyarakat, dan bersama-sama kita bisa membangun UGM,” tambahnya.
Sementara itu, untuk menjaga kualitas lingkungan, analisa mengenai dampak lingkungan menjadi hal yang rutin dilakukan. Kualitas udara, air, serta pengelolaan sampah diuji secara berkala untuk memastikan bahwa kualitasnya tetap terjaga.
Hal ini berkaitan pula dengan upaya peningkatan kualitas kesehatan bagi civitas akademika UGM. Salah satu kebijakan yang diambil untuk mengatasi hal ini adalah dengan mengontrol kualitas makanan yang dijual di kawasan kampus, termasuk dari segi kesehatan dan kebersihan lokasi berjualan.
“Kalau tempatnya saja tidak bersih, bagaimana bisa menjamin kualitas makanan yang dijual itu baik dan sehat. Kami ingin para mahasiswa ketika masuk UGM dalam kondisi sehat, nanti lulus pun tetap sehat. Dimulai dari kantin-kantin yang dikelola oleh UGM termasuk Pujale dan Foodcourt, kita secara periodik melakukan evaluasi dan mengadakan pembinaan untuk para penjual,” jelas Aminudin. (Humas UGM/Gloria)