Riset Kesehatan Dasar (RISKEDAS) di Indonesia pada 2010 menunjukkan bahwa 1% anak laki-laki dan 4% anak perempuan di seluruh Indonesia telah melakukan hubungan seksual sebelum usia 13 tahun, beberapa bahkan ketika berusia di bawah 10 tahun. Melihat fenomena ini, perlu ada upaya dalam mencegah dan mengatasi perilaku seks pranikah di kalangan remaja, salah satunya melalui intervensi berbasis keluarga dan sekolah.
“Keluarga merupakan faktor yang terutama dan utama memengaruhi perkembangan remaja, walaupun dalam pertumbuhan dan perkembangannya juga dipengaruhi oleh teman sebaya, teman sekolah dan masyarakat. Salah satu bentuk keterlibatan keluarga adalah dalam bentuk monitoring parental,” ujar Linda Suwarni saat mengikuti ujian terbuka program doktor di Fakultas Kedokteran UGM, Senin (18/7).
Beberapa studi sebelumnya telah menyatakan bahwa aspek monitoring parental merupakan hal yang paling efektif dalam menunda remaja melakukan aktivitas seksual dini. Program intervensi monitoring parental yang didesain secara efektif, menurutnya, dapat memengaruhi perilaku seksual berisiko pada remaja awal atau usia 14-16 tahun.
Linda menyebutkan bahwa aspek-aspek monitoring parental yang dapat mencegah remaja melakukan perilaku seks pranikah, diantaranya pengetahuan parental yang meliputi keberadaan, aktivitas, dan teman-teman remaja, hubungan orang tua dengan remaja yang diindikasikan dengan kepedulian orang tua, kepercayaan yang diberikan, atau frekuensi komunikasi di dalam keluarga. Selain itu, kontrol parental yang terkait dengan pergaulan, jam malam, dan konsekuensi yang diterima remaja jika melanggar aturan/batasan yang sudah ditetapkan orang tua.
Selain itu, komunikasi orang tua dengan remaja, tidak hanya terkait seksualitas tetapi juga komunikasi tentang kegiatan sehari-hari, serta kontrol psikologis juga menjadi aspek yang perlu menjadi perhatian kedua orang tua. Meski demikian, ia juga menekankan bahwa monitoring parental yang efektif diterapkan pada remaja perlu memiliki keseimbangan. Monitoring yang terlalu banyak aturan berhubungan dengan bertambahnya kecenderungan perilaku berisiko remaja dengan sikap permisif dan kurangnya pengawasan justru dapat berkontribusi pada perilaku seksual berisiko remaja.
“Monitoring parental mengurangi frekuensi intercourse remaja melalui pembatasan kesempatan melakukan aktivitas seksual. Akan tetapi, beberapa studi mengindikasikan bahwa aktivitas seksual cenderung meningkat jika kontrol parental berlebihan atau intrusif,” jelasnya.
Terkait aspek-aspek tersebut, hasil penelitiannya terhadap remaja di Pontianak menunjukkan bahwa persepsi remaja terhadap pengetahuan parental, hubungan orang tua dengan remaja, komunikasi yang terjalin, serta kontrol perilaku dan kontrol psikologis masih rendah. Sebanyak 35,3% remaja menganggap hubungan mereka dengan orang tua mereka kurang baik, dan 57% remaja menganggap bahwa orang tua mereka sangat sibuk dengan pekerjaannya dan tidak memiliki waktu untuk makan malam bersama serta meluangkan waktu untuk bercerita.
Karena itu, ia pun menyarankan agar kedua orang tua dapat bekerja sama dalam melakukan pengawasan kepada anak remajanya sedini mungkin. Tidak hanya dengan mengetahui dan memantau keberadaan dan aktivitas remaja serta menyampaikan batasan dan aturan yang jelas, tetapi juga dengan menjalin komunikasi dan hubungan yang dekat dengan anak remaja melalui waktu kebersamaan dalam keluarga. (Humas UGM/Gloria)