Hubungan industrial yang terjalin antara buruh atau pekerja dengan pengusaha rawan terhadap berbagai konflik yang salah satunya disebabkan oleh ketidaksetaraan hubungan di antara keduanya. Perselisihan yang muncul adalah sesuatu yang sulit dihindari, namun hal yang perlu dipikirkan adalah bagaimana perselisihan tersebut dapat diselesaikan dan dicari solusinya dengan damai sehingga tidak mengganggu stabilitas ekonomi dan kepentingan masyarakat.
Hal ini disampaikan oleh dosen Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, Siti Kunarti, S.H., M.H., saat mengikuti ujian terbuka program doktor di Fakultas Hukum UGM, Selasa (19/7). Dalam disertasinya ia menganalisis dan mengkaji eksistensi Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) dalam sistem peradilan di Indonesia.
“Keberadaan PHI sebagai peradilan khusus yang berada di bawah lingkungan peradilan umum baru berumur kurang lebih 9 tahun. Pada kenyataannya ternyata sudah banyak menuai kritik dan permasalahan,” ujarnya.
Kritik yang muncul terhadap PHI berkaitan dengan lambannya menyelesaian upaya hukum ke Mahkamah Agung. Padahal, eksistensi PHI sangat diharapkan untuk mewujudkan administrasi peradilan yang cepat dengan tetap berpedoman pada keadilan substansial atau hukum materiil yang terdapat pada UU no. 2 tahun 2004 yang mengatur batas waktu yang harus ditaati oleh lembaga peradilan, yaitu paling lama 50 hari kerja di tingkat pertama dan paling lama 30 hari pada tingkat Mahkamah Agung.
Selain itu, menurutnya, adanya lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial seperti PHI tidak serta merta menjamin bahwa pekerja atau buruh dapat memperjuangkan keadilan dengan mudah. Putusan hakim yang berdasarkan pasal-pasal normatif menjadikan hak buruh sering terabaikan. Pekerja/buruh memerlukan energi, waktu, serta biaya ekstra untuk memperjuangkan hak-haknya. Karena itu, tidak mengherankan jika pelaku bisnis kemudian mengembangkan penyelesaian perselisihan hubungan industrial di luar pengadilan.
“Kenyataannya praktik penyelesaian perselisihan hubungan industrial secara litigasi melalui lembaga PHI belum mampu merangkul kepentingan bersama. Kecenderungannya justru menimbulkan masalah baru, lambat dalam penyelesaiannya, membutuhkan biaya yang mahal dan tidak responsif,” jelasnya.
Terkait persoalan ini, ia menyebutkan beberapa solusi penyelesaian perselisihan yang dapat memberikan keadilan. Solusi tersebut yaitu melalui menyelesaian non-litigasi dengan bipartit, mediasi, konsiliasi, dan arbitrasi dengan prinsip musyawarah mufakat antara pekerja dan pengusaha yang sesuai dengan kearifan lokal dan dengan menempatkan harkat martabat buruh setara dengan pengusaha.
Oleh karena itu, ia pun menyarankan adanya penguatan terhadap lembaga mediasi, konsiliasi, dan utamanya arbitrasi sebagai lembaga yang tertinggi dan bersifat final untuk segera dilakukan. Langkah ini merupakan upaya terakhir dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial dengan merekrut sumber daya manusia yang profesional tidak memihak dalam pengambilan keputusan, serta dengan meningkatkan komunikasi di dalam hubungan industrial.
“Tidak kalah penting juga pengembangan komunikasi pekerja/buruh dengan pengusaha sebagai kunci dalam menumbuhkan keharmonisan dalam hubungan industrial,” imbuhnya. (Humas UGM/Gloria)