Prof. Dr. Juliasih Kusharyanto, S.U., dikukuhkan sebagai Guru Besar pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Selasa (19/7). Wanita kelahiran Sukabumi, Jawa Barat, 66 tahun lalu ini, dikukuhkan sebagai Guru Besar di ruang Balai Senat setelah menyampaikan pidato pengukuhan guru besar yang berjudul Autobiografi:Performativitas Intelektual Perempuan.
Dalam pidato pengukuhan guru besar, Juliasih yang banyak melakukan penelitian tentang karya penulis perempuan Amerika ini mengatakan autobiografi menarik bagi penulis perempuan karena autobiografi menawarkan ruang sangat luas untuk menyampaikan pemikiran-pemikiran yang berkaitan dengan berbagai macam kajian perempuan, termasuk di dalamnya pendekatan feminis. Sebaliknya, pendekatan feminis memperkaya kajian autobiografi dan memperluas definisi pembagian genre dan pengembangan teks-teks yang di dalamnya menyerap banyak ruang lingkup kehidupan, khususnya perempuan.
Dalam autobiografi, kata Juliasih, dapat dirunut bagaiman para penulis perempuan memanfaatkan imajinasinya dalam menciptakan dan membangun dirinya. Mereka menyadari bahwa kedirian selalu berubah dan selalu berada dalam proses penciptaan atau pencitraan. Oleh karena itu, autobiofrafi tidak hanya sebagai wadah pengembangan rasa percaya diri, tetapi juga performativitas intelektualitas. “Karena dalam autobiografi para penulis perempuan tidak hanya berargumentasi dan merefleksikan persepsinya tentang kehidupan tetapi juga menawarkan beberapa alternatif bentuk pemikiran lain melalui tindakan imajinatif yang berkaitan dengan rhetorical acts,” kata Ketua Prodi Pengkajian Amerika, FIB UGM ini.
Para penulis autobiogarfi perempuan, menurutnya, memiliki kemampuan membuat pernyataan, kemampuan menjustifikasi dan kemampuan menyampaikan pendapat, kemampuan meyakinkan dan kemampuan mempertanyakan. Kemampuan inteketualiltas yang ditunjukkan lewat karya autobografi tersebut merupakan performativitas intelektual yang menekankan kekhasan identitas kemandirian dan kebebasan. “Semua ini merupakan tindakan olah pikir,” terangnya.
Namun bagaimana perkembangan autobiografi sampai saat ini? Menurut Juliasih dalam dua puluh tahun terakhir telah dimulai pengintegrasian narasi kehidupan penulis abad ke -19 masuk ke sastra kanon Amerika. Namun, pada abad ke-20 ini narasi kehidupan menjadi bentuk dominan. Dia mencontohkan dalam masyarakat transnasional seperti sekarang ini, identitas global sering berhubungan dengan mobilitas pekerjaan yang diperoleh dari autobiografi berupa buku harian pribadi, sketsa, atau catatan perjalanan.
Meski demikian, autobiorafi bukanlah fiktif atau nonfiktif, bahkan bukan campuran dari keduanya. Pasalnya, banyak praktisi kontemporer yang mencampurkan keduanya menjadi hybrid dengan menawarkan bentuk narasi kehidupan. Dengan demikian, autobiografi tidak lagi hanya sebagai wadah pendefinisian diri atau ekpresi diri justru sebaliknya sebagai sarana untuk mengubah diri menjadi seseorang,” pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)