Sampah masih menjadi persoalan serius di Indonesia. Pasalnya, laju produksi sampah kota terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Keberadaan sampah kota yang tidak dikelola dengan baik menjadi ancaman bagi kesehatan masyarakat.
Berbagai upaya pengelolaan sampah telah dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat. Salah satunya adalah pemusnahan dengan memakai insinerator. Di sejumlah negara maju, insinerator tidak hanya digunakan untuk membakar sampah saja, tetapi banyak digunakan sebagai pembangkit energi. Namun, di Indonesia insinerator baru digunakan untuk memusnahkan sampah saja.
“Sayangnya, penggunaan insinerator di Indonesia dinilai tidak efisien dan kurang efektif,” kata Edy Wiyono, Kamis (21/7) saat ujian terbuka program doktor di Fakultas Teknik UGM.
Dosen Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya (ITATS) ini menyampaikan kondisi sampah yang saling tercampur dan kadar air yang tinggi menyebabkan proses pembakaran dengan insinerator menjadi tidak efektif. Tidak hanya itu, penggunaanya pun dinilai tidak efisien karena membutuhkan burner yang menyala terus menerus sepanjang proses pembakaran. Pada umumnya, burner menggunakan bahan bakar berupa minyak atau gas sehingga menyebabkan biaya operasional tinggi.
“Gas hasil proses pembakaran bersifat tidak ramah lingkungan dan energi panas hasil pembakaran sampah juga belum dimanfaatkan,” katanya.
Mempertahankan disertasi berjudul “Proses Pembakaran Sampah Kota Sebagai Alternatif Sumber Energi”, Edy menuturkan bahwa diperlukan upaya untuk memperbaiki kinerja insinerator supaya energi yang dihasilkan dapat dimanfaatkan. Salah satunya dengan mengoptimalkan kondisi operasional insinerator. Kondisi operasional yang optimal bisa diperoleh apabila diketahui mekanisme proses pembakaran yang terjadi dalam ruang bakar.
Dari penelitian yang dilakukan Edy diketahui bahwa jenis sampah sangat berpengaruh terhadap suhu pembakaran. Seperti sampah kain katun, plastik polietilen, kertas, dan sampah campuran dengan kadar air hingga 40% mampu terbakar dengan sendirinya. Sementara itu, sampah basah dengan kadar air lebih dari 80% tidak dapat terbakar dengan sendirinya.
“Jenis plastik polietilen dapat memberikan suhu pembakaran tertinggi pada pembakaran sampah perkomponen. Sedangkan sampah campuran menunjukkan hasil suhu maksimum ruangan lebih rendah dibandingkan pembakaran sampah perkomponen,” paparnya.
Lebih lanjut Edy menjelaskan laju pasokan oksigen berpengaruh terhadap suhu ruang bakar dan laju perubahan massa. Peningkatan laju pasokan oksigen akan meningkatkan suhu ruang bakar dan laju perubahan massa hingga titik kritis sebesar 1/menit. Peningkatan laju oksigen yang melebihi titik kritis mengakibatkan suhu ruang bakar menjadi turun dan laju perubahan massa juga menurun.
“Penambahan laju pasokan oksigen pada pembakaran sampah kota akan semakin memperkecil konsentrasi CO, NOx, dan SOx pada gas hasil sebaliknya CO2 justru meningkat,”ungkapnya.
Edy menyampaikan pada pembakaran sampah untuk energi kalor disarankan sampah dengan kadar air maksimum sebesar 25%. Adapun jenis sampah yang bisa digunakan sebagai bahan bakar untuk pengeringan sekaligus pembangkitan steam adalah sampah tunggal jenis kain katun, plastik polietilen, dan sampah campuran dengan komponen sampak plastik polietilen minimum 40% dan sampah basah maksimum 20%. Sementara jenis sampah yang dapat dijadikan bahan bakar untuk pembangkitan steam saja adalah sampah tunggal jenis kain katun dan plastik polietilen, dan sampah campuran dengan komponen sampah basah maksimum 20%.
“Kertas tidak layak digunakan sebagai bahan bakar tunggal insinerator,” jelasnya.
Agar kinerja insinerator berjalan efektif dan efisien Edy menyarankan untuk dilakukan pemilahan sampah segar berdasarkan komponennya. Selain itu, juga perlu dilakukan proses pencacahan sampah segar yang dijadikan sebagai umpan pembakaran dan kadar air pada sampah yang akan dibakar tidak lebih dari 25%. (Humas UGM/Ika)