Perilaku tak etis dalam bidang akuntansi makin marak terjadi, tidak hanya di negara-negara yang sedang berkembang, tetapi juga di negara-negara maju. Skandal-skandal korporat yang menghancurkan Enron, Worldcom, dan perusahaan-perusahaan besar lainnya pun ditanggapi oleh sekolah-sekolah bisnis dengan mengajukan beragam proposal untuk mereformasi akuntansi, pengauditan, dam governansi korporat. Mereka mengacu kepada pandangan mengenai ketidakcukupan kurikulum pendidikan akuntansi dan bisnis untuk mencegah perilaku tak etis.
“Salah satu pandangan menyebutkan bahwa yang harus dilakukan oleh sekolah-sekolah bisnis tersebut bukanlah menciptakan mata kuliah baru, melainkan menghentikan pengajaran sejumlah mata kuliah lama yang mempunyai pengaruh terhadap peningkatan praktik-praktik bisnis yang tak etis,” ujar Bogat Agus Riyono, MSA., Ak., saat mengikuti ujian terbuka program doktor, Jumat (22/7) di Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM.
Dalam disertasinya, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya Malang ini menguji pengaruh perkembangan moral kognitif (PMK), paparan teori manajemen, dan ancaman pemaluan terhadap pengambilan keputusan etis dalam akuntansi.
Literatur governansi korporat selama ini terus memperdebatkan asosiasi antara variabel-variabel kesituasian seperti sistem hukum, sistem imbalan, tarif pajak, dan konsentrasi kepemilikan untuk menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku tak etis. Akan tetapi, menurutnya, studi-studi itu tidak memperhatikan bahwa tindakan tak etis adalah suatu bentuk perilaku manusia. Padahal, sistem hukum sebagaimana halnya tarif pajak dan sistem imbalan, adalah produk-produk ciptaan manusia, sehingga riset-riset yang mencakup variabel perilaku manusia perlu dilakukan.
Melalui eksperimen yang dilakukan, ia memberikan bukti bahwa perkembangan moral kognitif memengaruhi pengambilan keputusan etis, sementara paparan teori manajemen dan ancaman pemaluan memengaruhi pengambilan keputusan etis. Kesimpulannya, manajer yang terpapar kepada teori agensi lebih memiliki kecenderungan untuk mengambil keputusan yang tak etis.
“Penelitian ini menunjukkan betapa berbahayanya paparan teori-teori X’, utamanya kepada mereka yang mempunyai tingkat PMK rendah. Oleh karena, jumlah subjek dengan PMK rendah sangat dominan, yakni 59%, maka implikasinya adalah bahwa pihak perguruan tinggi, khususnya, harus menyusun kembali kurikulum mereka dengan tidak mengajarkan teori-teori yang terkategori teori X’,” jelasnya.
Selain itu, penelitian ini juga menunjukkan betapa pentingnya ancaman hukuman terhadap pengambilan keputusan yang lebih etis. Oleh karena itu, perlu disusun penerapan ancaman pencabutan gelar akademis kepada alumni yang melakukan tindakan tak etis yang tidak terbatas hanya pada plagiarisme, namun juga mencakup tindakan-tindakan tak etis secara luas seperti korupsi.
“Para alumni baru seharusnya diwajibkan menandatangani suatu pakta integritas bahwa mereka akan menjaga martabat pribadi dan perguruan tinggi serta bersedia dicabut gelar akademisnya manakala terbukti melakukan tindakan tak etis,” pungkasnya. (Humas UGM/Gloria)