Gotong-royong dapat menjadi dasar nasionalisme Indonesia yang dibangun atas dasar kebersamaan, bahkan memiliki dimensi kemanusiaan yang justru dapat menjadi pengikat kebersamaan antarbangsa. Sebab, makna gotong royong dalam pandangan Soekarno yaitu kerja bersama-sama, saling bantu, bantu-membantu, kerja sama, musyawarah untuk mufakat dan saling menghargai sebagai bangsa. Meski gotong royong sebenarnya sudah melekat pada jiwa bangsa Indonesia, namun dalam praktiknya gotong royong harus diejawantahkan dalam etos bersama untuk selalu dan terus diperjuangkan. “Gotong-royong sebagai sebuah nilai memang bersifat tetap dan objektf adanya, tetapi praktik gotong-royong yang diejawantahkan dalam etos bersama ternyata harus selalu diperjuangkan,” kata Dosen STKIP Widya Yuwana, Madiun, Agustinus Wisnu Dewantara, S.S., M.Hum., saat menyampaikan hasil penelitiannya tentang makna Gotong -royong menurut Soekarno dalam perspektif Aksiologi Max Scheler pada ujian terbuka promosi doktor di Fakultas Fisafat UGM, Jumat (22/7).
Di hadapan tim penguji yang diketuai Dekan Filsafat UGM, Dr. M. Mukhtasar Syamsuddin, Agustinus mengemukan Soekarno mengumandangkan negara gotong-royong dalam pidato1 Juni 1945. Pada saat itu, kata Agustinus, Soekarno hendak menawarkan dasar negara yang mengakomodasi semua elemen bangsa dalam bingkai kebersamaan. Dewasa ini, kata Agustinus, nilai gotong royong menemukan tantangan besar dengan berbagai fenomena kerusuhan dan konflik yang merongrong rasa nasionalisme bangsa Indonesia. Menurutnya, gotong royong layak menjadi nasionalisme Indonesia. Karena itu, nasionalisme Indonesia dibangun atas dasar kebersamaan dan bukan bersifat chauvinistis. “Gotong-royong memiliki dimensi kemanusiaan yang justru bisa menjadi pengikat solidaritas dan kebersamaan antarbangsa,” ujarnya.
Ia menambahkan nilai gotong-royong dalam paradigma dewasa ini dapat diterjemahkan dengan bersama-sama membangun hidup politik dalam bingkai kebersamaan. Nilai gotong-royong secara khusus mempunyai relevansi langsung pada paradigma Trisakti yang ketiga, yakni berkepribadian sebagai bangsa. “Oleh karena itu, nilai gotong-royong menyangkut kerpribadian bangsa dan menjadi bagian dari budaya Indonesia,” katanya.
Ia menyinggung program revolusi mental yang didengungkan oleh Presiden Joko Widodo merupakan upaya melakukan revolusi sikap dan karakter sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Korea Selatan. Namun, revolusi karakter memerlukan panduan nilai. “Bangsa Indonesia tentunya tidak perlu mengimpor nilai dari luar karena ada banyak nilai luhur yang sudah tertanam sejak dahulu kala, yakni nilai gotong-royong,” pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)