Pilihan jurusan memang terkadang suka membikin bingung dan labil. Ada saja calon mahasiswa yang hatinya “mendua”, misalnya ingin menjadi dokter tetapi juga tertarik dengan Ilmu Hukum. Maka, wajar manakala kita sering menemui siswa-siswa SMA pada pilihan yang berubah-ubah.
Seperti yang dialami Novi Dwi Anggraeni, lulusan kelas IPA SMA Negeri 1 Lubuk Pakam, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Belajar bertahun-tahun di jurusan IPA, namun pada akhirnya ia harus kuliah di Fakultas Hukum UGM melalui jalur SNMPTN.
“Sebenarnya minat ingin masuk Fakultas Hukum baru muncul saat duduk di kelas 3 SMA. Sepertinya panggilan hati karena teringat sejak kelas X, saya suka pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Sementara banyak prestasi lomba yang kemudian mengarahkan saya memilih hukum,” ujar Novi.
Bersama Bianca Franchyeda dan Sri Suci Ning Tyas Ardi, teman satu kelas di IPA, Novi pernah meraih juara 1 tingkat Provinsi Sumatera Utara pada Lomba Parade Cinta Tanah Air bertema 4 Pilar Bernegara. Sementara itu, pada Lomba Legal Clever Competition yang berlangsung 3 November hingga 2 Desember 2015 di USU dirinya berhasil meraih juara II.
Nilai rapor Novi pun terbilang selalu baik, di atas rata-rata sejak duduk di kelas X hingga kelas XII. Terutama untuk nilai mata pelajaran Bahasa Indonesia nilainya selalu di atas 8.
“Meski tidak meraih juara di tingkat nasional di Jakarta, saya cukup senang bisa mewakili Sumut di Lomba Parade Cinta Tanah Air bersama Bianca dan Sri Suci,” katanya.
Novi Dwi Anggraeni bersyukur bisa melanjutkan kuliah di UGM. Demikian pula dengan dua temannya, Bianca Franchyeda yang melanjutkan kuliah di USU dan Sri Suci Ning Tyas Ardi di UNDIP melalui jalur yang sama, yaitu Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).
“Alhamdullilah senang sekali diterima, apalagi saya kuliah dengan beasiswa bidik misi, tidak merepotkan bapak ibu,” ujar Novi.
Novi mengaku tidak memiliki jurus khusus bisa menembus kuliah di PTN. Terlebih mengingat keterbatasan ekonomi yang dialami keluarganya. Ia pun belajar secara otodidak dan tidak pernah mengikuti privat atau bimbingan belajar. Bahkan, di sela-sela waktu ia berbagi ilmu untuk anak-anak SD di sekitarnya.
“Habis Maghrib saya memberi les untuk semua pelajaran tingkat SD di rumah. Selesai les jam 20.00, seminggu empat kali. Ya dapat imbalan, 100 ribu perbulan,” akunya.
Novi mengaku terbiasa belajar tengah malam. Sehingga sehabis memberi les anak-anak SD ia kemudian tidur. Otomatis, pada tengah malam ia akan terbangun dan belajar pada jam 02.00 dini hari.
Dara kelahiran Deli Serdang, 7 November 1998, ini pun harus menempuh jarak cukup jauh untuk menuju sekolah. Tiap hari ia harus bersepeda dan berganti angkutan kota menuju SMA Negeri 1 Lubuk Pakam.
“Dari Desa Dalu X saya harus bersepeda 3 km menuju Simpang Pasar Tujuh. Setelah itu, berganti naik angkutan kota”, aku Novi.
Di saat sama, Novi sesungguhnya juga diterima kuliah Diploma 3 Keperawatan Poltekes Medan dengan beasiswa. Meski begitu, pada akhirnya ia lebih memilih UGM karena ingin mewujudkan cita-cita sebagai pengacara.
“Saya berharap bisa belajar dengan baik sehingga kuliah lancar. Rencana nanti di semester lima, saya mau mengambil konsentrasi hukum pidana,” tuturnya.
Abdi, ayah Novi Dwi Anggraini, merasa bangga dan bersyukur anaknya diterima kuliah di UGM. Sementara, sang ibu, Menik, tengah tergolek sakit di RSU Lubuk Pakam karena tumor.
Abdi sangat senang karena anaknya kuliah dengan gratis. Dengan begitu, Novi akan kuliah dengan tidak membebani keluarga.
“Ya saya ini buruh, kalau lagi panenan padi, ya buruh panen padi. Terkadang nyangkul, bersih-bersih rumput. Pendapatan sebenarnya tidak menentu,” terang Abdi . (Humas UGM/ Agung)