Lima mahasiswa UGM berhasil mengembangkan lampu ramah lingkungan dengan sumber energi dari bahan logam bekas. Mereka adalah Faqih Nurfajrin, Ika Novita S., M. Shokhibul Izza (Teknik Kimia 2012), Yulisyah Putri Daulay (Teknik Industri 2013) dan Muhammad Nabil Satria Faradis (Teknik Mesin 2012).
Pengembangan lampu yang dinamai dengan Established Self-Sustainable Alternative Source of Energy for Society From Salt Water and Using Reused Materials atau EDULA ini berhasil menghantarkan kelimanya meraih penghargaan Merit Award pada International Energy Innovation Challenge 2016 (EIC) yang diadakan oleh The Institution of Engineers Singapore (IES) and Science Centre Singapore (SCS) pada 23 – 24 Juli 2016 di Singapura. Produk yang dikembangkan berhasil menyisihkan ratusan karya mahasiswa lainnya dari sejumlah perguruan tinggi di berbagai belahan dunia.
Ketua tim pengembang EDULA, M. Shokhibul Izza, mengatakan pembuatan lampu ramah lingkungan ini berawal dari keprihatinan mereka terhadap tingginya kebutuhan energi listrik dunia. Sementara itu, sumber energi listrik dari minyak bumi keberadaannya semakin menipis. Karenanya, mereka berupaya melakukan penelitian secara intensif untuk mencari sumber-sumber energi alternatif.
“Setidaknya 20 persen konsumsi listrik global dihabiskan untuk penerangan. Padahal, energi yang dikonsumsi untuk menghasilkan cahaya tersebut menghasilkan gas rumah kaca sebesar 1.900 Mt CO2 per tahun sehingga sangat dibutuhkan sumber energi alternatif yang hemat dan juga ramah lingkungan,” urainya, Senin (25/7).
Izza, begitu biasa dia disapa, menyebutkan pengembangan sumber energi alternatif ini penting dikembangkan di Indonesia. Pasalnya, hingga kini belum semua daerah Indonesia teraliri listrik. Data Kementerian ESDM 2016 mencatat setidaknya lebih dari 12.659 desa di Indonesia yang tidak memiliki akses listrik. Guna memenuhi kebutuhan pencahayaan, sebagian besar masyarakat di daerah terpencil menggunakan lampu minyak tanah.
“Banyak masyarakat di pelosok yang memakai lampu berbahan energi dari minyak tanah ini untuk penerangan. Selain menjadi bahan bakar mahal, lampu ini menghasilkan karbondioksida sehingga menyebabkan kualitas udara dalam ruangan yang buruk dan berbahaya,” terangnya.
Oleh sebab itu, Izza dan rekan-rekannya di bawah bimbingan Dr. Himawan Tri Bayu Murti Petrus dari Center of Advanced Materials and Mineral Processing UGM mencoba mengembangkan lampu yang bersifat ramah lingkungan. Dengan memanfaatkan logam bekas sebagai sumber energi, lampu yang dikembangkan diharapkan bisa menjadi solusi kebutuhan penerangan di berbagai wilayah Indonesia yang belum tersentuh listrik.
“Lampu ini dibuat dengan memanfaatkan sumber energi dari logam bekas dengan pereaksi air laut yang banyak terdapat di sekitar kita ,” jelasnya.
Nabil menambahkan bahwa EDULA dibuat dalam bentuk portable dengan menggunakan prinsip dasar reaksi redoks pada sel sirkuit Volta sebagai sumber energi listrik. Reaksi ini didasarkan pada sifat fisik dari logam di mana beberapa logam rentan terhadap oksidasi dan logam lainnya tidak.
“Lampu akan bekerja ketika kedua logam ini dimasukkan ke dalam larutan air asin (air laut), maka aliran elektron akan berpindah,” tuturnya.
Dalam sistem ini, kata dia, aliran elektron terjadi karena ada perbedaan potensial antara anoda dan katoda. Perbedaan potensial akan menghasilkan listrik dan menyalakan lampu.
“Disini kami menggunakan logam bekas dari Alumunium (Al) dan Tembaga (Cu) karena kedua logam ini memiliki beda potensial paling besar diantara logam lainnya dan murah,” ujarnya.
Nabil menyebutkan lampu yang mereka kembangkan bisa menghasilkan beda potensial sebesar 4 Volt yang terdiri dari 8 cell logam bekas. Adapun daya yang dihasilkan dari lampu ini sebesar 5 Watt. Berdasar perhitungan kasar lampu ini dapat bertahan hingga 178.347 jam.
“Voltasenya bisa ditingkatkan hingga tidak terbatas dengan menambah rangkaiannya saja,” pungkasnya. (Humas UGM/Ika)