Sejak tahun 2011, Indonesia mulai menerapkan standar akuntansi yang berkonvergensi dengan International Financial Accounting Standard (IFRS) atau standar akuntansi yang disebut berbasis prinsip. Namun, standar akuntansi berbasis prinsip hanya memberikan pedoman pengukuran dan pengakuan nilai yang memengaruhi posisi keuangan secara umum. Standar akuntansi berbasis prinsip tidak memberikan pedoman secara rinci dalam hal pengukuran dan pengakuan butir-butir laporan keuangan berupa bright-line threshold seperti yang terdapat pada United States’ Generally Accepted Accounting Principles (US GAAP).
“Dari sudut pandang model kontinjensi sosial, bila seseorang tidak mengetahui siapa yang akan menggunakan hasil dari pekerjaan dan dia telah mengeluarkan sebuah komitmen, maka ia harus siap menjelaskan pekerjaannya atau proses pembuatan keputusan tersebut,” ujar Tertiarto Wahyudi saat mengikuti ujian terbuka program doktor, Selasa(26/7) di Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM.
Laporan keuangan auditan, menurutnya, merupakan laporan bersifat umum yang digunakan oleh banyak pihak dengan berbagai tingkat pemahaman terhadap keuangan dan akuntansi, seperti investor, regulator, kreditor, pemasok, dan lainnya. Karena itu, saat auditor mengaudit laporan keuangan untuk pengguna yang belum diketahui, komitmennya sebagai salah satu penjaga kepercayaan pasar atau gate keeper dalam bentuk informasi keuangan yang berkualitas mendorongnya untuk selalu siap menjelaskan bagaimana ia mencapai sebuah keputusan.
Terkait hal ini, standar akuntansi berbasis prinsip yang hanya memberi pedoman bersifat umum ditambah dengan produk profesi yang dipakai oleh berbagai pihak semakin meningkatkan persepsi adanya kebutuhan terhadap akuntabilitas sebuah keputusan. Oleh karena itu, pengaruh inkremental dari standar akuntansi berbasis prinsip terhadap perasaan akuntabel seorang auditor menjadi perhatian utama dari dosen Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Sriwijaya ini dalam disertasinya.
“Riset-riset yang telah dilakukan selama ini mengungkapkan peranan akuntabilitas untuk mengurangi berbagai bias pembuatan keputusan, sementara belum ada riset yang mengungkapkan faktor yang memengaruhi akuntabilitas itu sendiri dalam profesi audit,” jelasnya.
Salah satu faktor yang dianggap menjelaskan kualitas dari informasi akuntansi di sebuah pasar modal adalah penegakan hukum. Penegakan hukum yang kuat ditambah latar belakang budaya dapat meningkatkan kualitas pelaporan informasi keuangan, bukan standar akuntansi itu sendiri.
Namun, ia menemukan bahwa baik standar akuntansi berbasis prinsip maupun regulator keuangan yang lebih kuat menyebabkan persepsi untuk bersifat akuntabel yang lebih kuat bagi seorang auditor. Selain itu, standar akuntansi juga meningkatkan keinginan seorang auditor untuk menggali informasi lebih mendalam dalam bentuk respons motivasi epistemik yang lebih tinggi.
“Motivasi epistemik yang lebih tinggi mendorong seorang auditor untuk mengidentifikasi bukti yang lebih beragam dalam menentukan perlakuan sebuah transaksi serta keputusan yang lebih akurat,” pungkasnya. (Humas UGM/Gloria)