Di pinggiran kota Blitar, sebuah rumah mungil yang berada diantara lorong gang sempit, Mujiyah Srihidayati (42) terlihat masih berkutat dengan mesin jahit tua, menyelesaikan jahitan baju pesanan dari pelanggannya. Ruangan berukuran 4 x 4 meter ini terdapat dua mesin jahit dan satu mesin obras yang disulap menjadi tempat bagi janda satu anak ini untuk menghidupi putri tunggalnya, Ika Rizky Fauziah Abdullah, dan kedua orang tuanya yang tinggal serumah dengannya. Ruang usaha jahit ini bukanlah milik Mujiyah, melainkan milik teman akrabnya. Sepeninggal suaminya 6 tahun lalu, Mujiyah terpaksa bekerja sebagai buruh jahit agar dapur di rumahnya tetap mengepul.
Sebagai buruh jahit, Mujiyah mengaku menerima pesanan 2-3 pakaian setiap hari. Itu pun kadang tidak menentu, bisa-bisa selama satu minggu tidak ada satu pun order jahit atau sekadar permak pakaian yang datang. Untuk permak pakaian ia mendapat upah sekitar Rp25 ribu.
“Itu nanti dibagi dua dengan yang punya, kalau menjahit pakaian saya dikasih Rp30 ribu per potong,” katanya.
Meski penghasilannya tidaklah menentu, tidak setiap hari Mujiyah bisa pulang membawa uang. Ia bersyukur penghasilannya sebagai buruh jahit masih mampu mencukupi kebutuhan sehari-hari apalagi bisa menafkahi kedua kedua orangtuanya. Beruntung, Mujiyah tidak mengeluarkan uang untuk keperluan sewa kontrak rumah karena sejak menjanda ia pindah ke rumah orang tuanya. Sebagai satu-satunya tulang punggung keluarga, Mujiyah tidak pernah berpangku tangan. Baginya hidup harus terus berjalan. Meski hidup yang dilakoni dalam suasana keprihatinan, Mujiyah memiliki tekad kuat menyekolahkan puteri tunggalnya hingga jenjang perguruan tinggi.
Tidak jauh dari tempat usaha jahit tersebut, ada sebuah rumah mungil bercat oranye yang sudah lusuh, beratap asbes dan sebagian genteng. Disinilah Mujiyah tinggal bersama anak dan kedua orang tuanya yang sudah sepuh. Di rumah tua ini, terdapat tiga kamar, namun satu kamar dijadikan gudang. “Sejak bapak meninggal, kita tinggal di sini, ngumpul bareng si mbah,” kata Ika, panggilan akrab Ika Rizky Fauziah Abdullah.
Selama duduk di bangku sekolah menengah, Ika mengaku tidak pernah menyampaikan keluhan pada ibunya. Ia selalu ingin membuat ibunya senang dan bangga dengan cara menunjukkan prestasi yang berhasil diraihnya. Apalagi, ia rutin dapat beasiswa berkat prestasi yang ia gapai.
Selama duduk di SMAN 1 Blitar, Ika selalu masuk rangking sepuluh besar. Dengan kemampuannya berbahasa Inggris, Ika berkesempatan mengikuti program pertukaran pelajar ke Amerika Serikat. Selama kurang lebih satu tahun ia menikati pendidikan menengah di negeri Paman Sam tersebut. Setelah pulang dari Amerika ia kemudian melanjutkan pendidikan SMA di Blitar hingga lulus.
Ika tertarik untuk menekuni dunia diplomat setelah mengikuti program pertukaran pelajar. Ia pun memilih mendaftar Prodi Hubungan Internasional Fisipol UGM saat SNMPTN dibuka. Ia bersyukur bukan kepalang karena diterima kuliah di UGM apalagi mendapat beasiswa Bidikmisi sehingga tidak membebani sang ibu. Sebagai anak, ia tahu dan maklum, penghasilan ibunya sebagi buruh jahit hanya cukup untuk kebutuhan makan sehari-hari.
Diterima kuliah di UGM, bagi Mujiyah menjadi sebuah berkah bagi keluarga sekaligus pertanda terkabulnya doa yang selalu ia panjatkan setiap hari. “Setiap malam saya selalu berdoa, bisanya cuma hanya itu, hanya bisa bantu doa. Selalu memohon bimbingan-Nya, memberikan jalan yang terbaik,” kata Mujiyah dengan mata berkaca-kaca.
Kuliah di UGM adalah impian Ika sejak kecil. Pilihannya memililh prodi Hubungan Internasional menurut Ika sebagai jalan untuk menggapai masa depan yang lebih cerah. (Humas UGM/Gusti Grehenson)