Karya sastra merupakan salah satu sarana Islamisasi di Indonesia. Karya sastra ini banyak dimanfaatkan oleh pembawa ajaran Islam dalam menyampaikan ajaran Islam, terutama pada awal Islam masuk ke Nusantara.
Dosen Prodi Sosiologi Agama, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga, Adib Sofia, mengatakan terdapat fakta kultural dan sosial dalam wacana yang ditinggalkan para tokoh saat itu yang menunjukkan ketidakharmonisan dalam kehidupan beragama. Hal ini bermula dari perbedaan pandangan Hamzah Fansuri dan Nuruddin Ar-Raniri.
“Fenomena kultural dalam karya Hamzah Fanzuri memperlihatkan adanya toleransi dalam menjalani kehidupan beragama. Sedangkan Nurudin Ar-Raniri justru menunjukkan sikap-sikap penentangan keras terhadap pandangan yang berbeda,”urainya, Kamis (28/7) saat ujian terbuka program doktor di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM.
Sofia menyebutkan sastra dibangun untuk mengungkapkan persoalan universal, berkomunikasi melalui jiwa dan menghaluskan budi. Namun demikian, dalam karya-karya Nuruddin Ar-Raniri ini, sastra dimanfaatkan untuk mengekspresikan penentangan keras terhadap pandangan yang berbeda, bahkan mengekspresikan sikap-sikap khusus.
Mempertahankan disertasi berjudul “Intoleransi dalam Kehidupan Beragama: Kajian Filologi dan Interpretasi atas Tiga Karya Nuruddin Ar-Raniri”, Sofia menyampaikan hasil analisisnya. Dari tiga karyanya, yaitu Tibyan fi Ma’rifatil-Adyan, Chujjatush-Shiddiq li Daf’iz-Zindiq, serta Fatchul-Mubin ‘ala-Mulchidin diketahui bahwa terdapat sikap intoleran dalam ketiga karya ulama penasehat Kesultanan Aceh pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Tsani ini. Sikap intoleran ini berupa pernyataan diri sendiri paling benar, sementara pihak yang memiliki pandangan berbeda adalah sesat, salah, menyamakan pihak lain dengan golongan berstereotip negatif seperti kafir, Majusi, Yahudi, Fir’aun dan lainnya.
“Selain itu juga melakukan kekerasan verbal dengan pemilihan diksi yang keras, penghinaan, dan pelaknatan,” ujarnya.
Temuan lain memperlihatkan efektivitas tindakan intoleransi bergantung pada penggunaan dalil keagamaan sebagai dasar legitimasi serta dukungan dari penguasa. Tak hanya itu, dari karya-karya sastra masa lampau tersebut menunjukkan fakta yang relevan untuk kehidupan saat ini dalam masyarakat yang majemuk.
Menurutnya, keberadaan Nuruddin Ar-Raniri yang hanya bisa bertahan 7 tahun di Nusantara relevan dengan kondisi saat ini. Hal itu menunjukkan bahwa intoleransi tidak pernah sesuai diterapkan di Indonesia. (Humas UGM/Ika)