Dalam dekade terakhir, berbagai isu sosial, ekonomi, dan lingkungan digunakan sebagai tema utama dalam kampanye-kampanye negatif terhadap industri minyak sawit Indonesia. Padahal, banyak dari kampanye tersebut dibangun di atas mitos-mitos yang belum diuji kebenarannya. Mitos-mitos ini diulas dalam buku berjudul Mitos vs Fakta Industri Minyak Sawit Indonesia dalam Isu Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan Global yang diterbitkan oleh Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI).
“Kejayaan Indonesia sebagai eksportir komoditas pertanian direpresentasikan oleh agroindustri kelapa sawit. Walau demikian, agroindustri ini juga menghadapi tantangan berupa kampanye anti kelapa sawit, yang menyangkut aspek sosial, ekonomi, serta lingkungan yang dianggap mengalami destruksi akibat adanya pengembangan bisnis kelapa sawit,” ujar ahli ekonomi pertanian UGM, Dr.Jangkung Handoyo Mulyo, M. Ec., dalam Workshop dan Bedah Buku yang diadakan atas kerja sama antara Pusat Kajian Kedaulatan Pertanian (PAKTA) UGM dan PASPI, Kamis (28/7) di Auditorium Fakultas Pertanian UGM.
Industri minyak sawit merupakan industri strategis dalam perekonomian Indonesia, karena kontribusinya yang cukup besar baik dalam ekspor non migas, penciptaan kesempatan kerja, pembangunan daerah pedesaan, dan pengurangan kemiskinan. Karena itu, ia menyayangkan maraknya kampanye negatif terhadap industri minyak sawit yang selain menyesatkan banyak orang, juga dapat merugikan industri minyak sawit Indonesia.
Kampanye negatif ini sebelumnya terbatas pada aspek gizi dan kesehatan. Namun, saat ini kampanye tersebut sudah mulau menjangkau aspek strategis yaitu sosial, ekonomi, dan lingkungan. Direktur Eksekutif PASPI, Dr. Ir. Tungkot Sipayung, menjelaskan bahwa kampanye negatif terhadap industri minyak sawit sudah berlangsung lama, sejak Indonesia mulai mengembangkan pola perkebunan inti rakyat kelapa sawit di tahun 1980-an. Kekhawatiran produsen minyak kedelai yang kalah bersaing dengan minyak sawit menjadi pemicu intensifnya kampanye negatif pada masa itu. Kini, tema kampanye dan strategi yang digunakan pun makin berkembang.
“Strategi kampanye yang ditempuh makin terstruktur, sistematis dan masif, melibatkan LSM anti sawit trans-nasional dan lokal, dan secara intensif menggunakan media massa, baik nyata maupun maya,” jelasnya.
Salah satu mitos yang dibahas di dalam buku ini adalah terkait kebakaran hutan dan lahan di Indonesia yang menempatkan industri kelapa sawit sebagai pihak yang dipersalahkan. Padahal, kebakaran hutan dan lahan yang relatif luas tidak hanya terjadi di sebagian provinsi sentra kebun sawit, tetapi juga pada provinsi yang tidak memiliki perkebunan sawit seperti Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Jawa Barat. Karena itu, kebakaran tersebut tidak serta merta disangkutkan kepada industri sawit.
“Memang masih ada petani yang membuka lahan dengan membakar gambut, tapi jumlahnya relatif kecil, hanya 4%. Mereka inilah yang harus dididik, supaya mengerti cara yang benar. Kalau kebakaran hutan di Indonesia terus terjadi, ini jadi senjata bagi pesaing-pesaing untuk membuat kampanye yang negatif,” ujar Dekan Fakultas Pertanian UGM, Dr, Jamhari, S.P., M.P.
Ia pun mengapresiasi dilakukannya kajian akademis terhadap isu ini yang disertai dengan peluncuran buku serta workshop sebagai sarana untuk memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai manfaat dari agroindustri kelapa sawit. (Humas UGM/Gloria)