Ada dua fakta kontradiktif antara orang Makeang di Maluku Utara masa lalu dan masa kini. Orang Makeang di masa lalu, setidaknya sejak abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-20 berada di bawah kekuasaan Kerajaan Ternate yang didukung rezim kolonial. Pada periode tersebut, orang Makeang secara politik, budaya, dan ekonomi tersubordinasi di bawah kekuasaan Kesultanan Ternate (pada periode tertentu di bawah Tidore).
Meski posisi subordinasi politik di bawah negara tradisional Ternate telah berakhir setelah pembentukan negara Indonesia, namun orang Makeang masih sering dipandang kaum terbelakang (udik). Berbagai representasi tentang keterbelakangan orang Makeang terus diproduksi dan reproduksi hingga sekitar tahun 1980-an.
“Dari situlah penelitian ini diangkat dan ditulis. Keadaan sudah sangat berbeda dengan apa yang terjadi belakangan ini, terutama sejak tahun 1990-an. Masyarakat awam, para elite lokal, sampai para peneliti memiliki pandangan yang sama, bahwa orang Makeang telah menjadi komunitas yang superior, leading community dalam banyak aspek, terutama ranah pendidikan dan politik lokal,” ujar Safrudin Amin, M.A., di Fakultas Ilmu Budaya UGM, Selasa (9/8) saat menempuh ujian terbuka program doktor.
Dosen Antropologi Sosial, Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Khairun Ternate dalam ujian tersebut mempertahankan disertasi berjudul “Landadi Manusia/ Dadi Manca: Struktur dan Agensi dalam Mobilitas Sosial Vertikal orang Makeang di Maluku Utara”. Didampingi promotor Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa-Putra, M.A., M.Phil dan ko-promotor Dr. G.R. Lono Lastoro Simatupang, M.A, Safrudin Amin menyatakan orang Makeang dipandang mendominasi kedua ranah tersebut, meskipun mereka bukan komunitas mayoritas sekaligus bukan komunitas minoritas.
“Elit Makeang sangat besar di pemerintahan dan birokrasi Maluku Utara. Sehingga selain menonjol di bidang pendidikan, banyak dari mereka duduk di birokrasi sehingga menguntungkan dalam konstelasi politik lokal,” ujarnya.
Menurut Safrudin mobilitas sosial vertikal yang begitu cepat tidak lepas dari dukungan interaksi antar kapasitas agensi orang Makeang yang memadai dan struktur yang memberi peluang untuk melakukan mobilitas. Karena itu, interaksi antar agen dan struktur dalam disertasinya merupakan proses kebudayaan yang melibatkan konstruksi gagasan dan proses sosial yang melibatkan perilaku agentif pelaku-pelaku sosial.
“Di seluruh batang tubuh karya ini, saya mengekplorasi kompleksitas interaksi tersebut dan menyajikan pola-pola yang menunjukkan adanya suatu gerakan menaik orang Makeang secara sosial,”papar pria kelahiran Halmahera, 12 Februari 1969.
Safrudin menyebut transformasi struktur dari negara tradisional Kesultanan Ternate ke negara kolonial, kemudian ke negara baru Indonesia, bukan saja menawarkan ruang mobilitas sosial baru tetapi juga ruang mobilitas vertikal baru bagi semua komunitas di Maluku Utara. Kenyataannya, hanya beberapa komunitas (Makeang, Tidore, Sanana) memanfaatkan yang ditawarkan secara maksimal.
Hal ini mengindikasikan peran agensi dalam mobilitas vertikal orang Makeang. Meskipun masyarakat di Halmahera Utara dan sebagian Halmahera Timur sudah diperkenalkan sekolah formal (29 sekolah) oleh organisasi zending (UZV) pada abad ke-19, sementara orang Makeang sendiri baru mengenalnya menjelang akhir paruh pertama abad ke-20.
“Langkah-langkah agentif memanfaatkan ruang mobilitas vertikal ini sangat tampak pada masyarakat Makeang,”jelasnya.
Hasilnya, terjadi pergerakan mobilitas vertikal yang signifikan pada ranah pendidikan dan politik. Di ranah pendidikan, hanya dalam dua dekade, semenjak berkenalan pendidikan formal di awal tahun 1940-an, masyarakat Makeang mulai memainkan peran yang semakin menguat dari waktu ke waktu.
“Sejak 1960-an dan sesudahnya, peran mereka di dunia pendidikan sebagai guru dan dosen menjadi sangat menonjol, dan jumlah guru terbanyak sejak tahun 1960-an beretnis Makeang dan mereka juga dominan sebagai dosen,” terangnya.
Di ranah politik, komunitas yang pernah dikuasai oleh Kesultanan Ternate menjelang pertengahan abad ke-20, ini pun mampu menjadi “penguasa”. Dengan modal pendidikan yang mereka peroleh lewat usaha yang sangat keras, mereka relatif mudah melakukan penetrasi ke ruang-ruang mobilitas yang tersedia di birokrasi pemerintahan daerah dan lembaga legislatif.
Dari disertasi ini, kata Safrudin, manfaat yang bisa diperoleh adalah perjalanan suatu etnis dari kelas tersubordinasi bisa menjadi kuat karena penguasaan bidang pendidikan dan politik. Studi ini pun mengajarkan kebijakan untuk bersikap dalam masyarakat Maluku Utara yang multietnik(Humas UGM/ Agung).