Universitas Gadjah Mada (UGM) meluncurkan sejumlah produk inovasi unggulan di bidang kesehatan. Produk-produk inovasi unggulan itu turut dipamerkan dalam kegiatan peringatan Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (HAKTEKNAS) yang digelar di Stadion Manahan Solo, pada 9- 13 Agustus 2016. Salah satunya adalah sebuah alat untuk terapi pasien hidrosefalus yang dinamai dengan INA Shunt. Dengan menggandeng PT. Phapros, Tbk., yang akan memasarkan alat terapi penderita hidrosefalus ini.
Alat ini dikembangkan oleh ahli bedah saraf Fakultas Kedokteran UGM, Dr.dr. Paulus Sudiharto, Sp.BS(K). INA Shunt dikembangkan sejak tahun 1978 dan telah dipatenkan pada September 2009. Hingga saat ini, alat ini telah dipasang pada sekitar 10 ribu pasien hidrosefalus di wilayah Yogyakarta. Para pasien tersebut memiliki beragam penyebab dan usia mulai bayi berumur 11 hari hingga orang tua.
Pengembangan alat ini berawal dari keprihatinannya akan alat terapi hidrosefalus yang masih banyak dipenuhi dengan produk impor dengan harga yang sangat mahal. Hal tersebut mendorongnya untuk menciptakan inovasi untuk membuat alat terapi hidrosefalus dalam negeri.
“Alat yang kami kembangkan ini merupakan sebuah selang yang memiliki katup celah berbentuk semilunar yang berfungsi untuk mengalirkan cairan dari otak,” jelas Sudiharto, Selasa (9/8) saat mengikuti rangkaian HARTEKNAS di Solo.
Sudiharto menyampaikan alat terapi tersebut dinamai INA Shunt dengan makna INA adalah Indonesia dan shunt berarti menyalurkan, dalam hal ini adalah menyalurkan cairan dari otak ke tubuh. Alat ini bekerja untuk mengalirkan kelebihan cairan dari otak ke rongga perut.
Tidak seperti kebanyakan alat terapi hidrosefalus produksi luar negeri yang dikembangkan dengan katup konvensional, alat ciptaan Sudiharto ini dibuat dengan katup semilunar sehingga mencegah terjadinya aliran balik cairan ke rongga kepala. Selain itu, katup semilunar ini akan mengatur aliran sehingga tidak banyak terpengaruh aktivitas pasien.
“Dilengkapi juga dengan tonjolan anti selip untuk mengantisipasi bahaya selang kateter terhisap ke dalam rongga otak yang bisa menyebabkan kematian,” paparnya.
Alat ini juga dilengkapi dengan konektor sehingga akan meminimalkan area operasi jika akan dilakukan penambahan panjang selang kateter. Selain itu, terbuat dari bahan yang telah teruji toksisitasnya sehingga dapat mengurangi munculnya komplikasi baik mekanik maupun infeksi.
Ketua Perhimpunan Bedah Saraf Indonesia, Dr.dr. Endro Basuki, menyebutkan kebutuhan akan alat terapi hidrosefalus di Indonesia sangat besar. Setidaknya, lebih dari 6 ribu alat setiap tahunnya. Karenanya, produksi dalam skala besar perlu diupayakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
“Ada potensi untuk ekspor alat buatan dr. Sudiharto ini,” katanya.
Endro menjelaskan INA Shunt memiliki keunggulan dengan adanya katup semilunar sehingga memiliki tingkat risiko yang kecil terjadinya aliran cairan balik ke otak. Nantinya, INA Shunt akan dimasukkan kedalam e-catalouge Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Dengan begitu, pasien hidrosefalus tidak akan dipungut biaya apun saat menjalani terapi.
“Karena akan dimasukkan dalam e-catalouge maka pasien hidrosefalus akan mendapatkan operasi dan INA Shunt secara gratis,” tegasnya.
Sementara Direktur Utama PT. Phapros, Tbk., Barokah Sri Utami, menyampaikan INA Shunt akan dipasarkan dengan harga relatif terjangkau. Tidak seperti produk sejenis yang diperoleh dengan impor dan dibanderol pada kisaran harga Rp4,5-9 juta, INA Shunt akan dijual dalam kisaran harga Rp2-3 juta.
“INA Shunt ini adalah produk alat kesehatan dengan potensi besar. Karenanya, kami sangat mendorong alat ini agar dapat digunakan di semua rumah sakit Indonesia,” jelasnya.
Kendalikan DBD dengan Nyamuk ber-Wolbachia
Nyamuk pengendali demam berdarah dengue (DBD) yaitu Aedes aegypti ber-Wolbachia yang dikembangkan oleh tim Eliminate Dengue Project Yogya (EDP-Yogya), Fakultas Kedokteran UGM dan didukung Yayasan Tahija Indonesia turut dipamerkan dalam peringatan HAKTEKNAS. Nyamuk ber-Wolbachia ini merupakan inovasi alami dalam pengendalian DBD di Indonesia.
“Saat nyamuk Aedes aegypti ber-Wolbachia ini dilepas dan kawin dengan nyamuk Aedes aegypti maka telur yang dihasilkan tidak lagi membawa virus DBD atau menghasilkan nyamuk ber-Wolbachia juga . Dengan demikian perkembangbiakan nyamuk DBD bisa ditekan,” jelas peneliti EDP Yogya, Prof. dr. Adi Utarini.
Staf pengajar Fakultas Kedokteran UGM ini mengatakan tidak lama lagi pihaknya akan melepas Aedes aegypti ber-Wolbachia pada akhir Agustus ini. Sebelumnya, mereka telah melepas nyamuk sejenis di 4 dusun di Kabupaten Sleman dan Bantul.
“Hasilnya menunjukkan nyamuk DBD ber-Wolbachia mampu berkembang biak dan bertahan secara alami. Disamping itu, mempunyai kemampuan untuk menekan perkembangan virus dengue di tubuh nyamuk,” paparnya.
Adi Utarini menyebutkan sejak pelepasan nyamuk ber-Wolbachia angka penularan penyakit DBD di 4 dusun itu juga berkurang secara signifikan. Rencananya, mereka akan memperluas wilayah persebaran nyamuk ber-Wolbachia ini dengan meletakkan bibit-bibit nyamuk setiap 50 meter di perkampungan warga. (Humas UGM/Ika)