Fenomena seseorang yang mengaku menjadi utusan Tuhan sempat beberapa kali muncul baik mengaku sebagai ratu adil maupun nabi, dan hal semacam itu akan teruji dari misi yang diembannya. Jika dalam misi tersebut hanya meninggikan hal-hal yang sudah tinggi dan semakin merendahkan berbagai hal yang sudah rendah maka tidaklah patut diapresiasi. Sementara itu, jika mampu mentransendensikan hal-hal yang profan dan menemukan kesakralan dalam hal-hal keseharian patutlah mendapat penghormatan.
“Selama tidak ada yang menjunjung seseorang yang mengaku sang Nabi melebihi batas kemanusiaannya, hal itu tidak akan menjadi masalah namun manakala muncul individu-individu yang diagung-agungkan dan dipatuhi melebihi kepatuhan dan ketundukan pada Yang Ilahi maka yang muncul adalah sebuah problema besar,” kata Dosen Filsafat UGM, Agus Himmawan Utomo, saat menyampaikan hasil penelitian disertasinya yang berjudul Konsep Kenabian Perspektif Perennialisme Frithjof Schuon:Relevansinya dengan Kehidupan Keberagamaan di Indonesia pada ujian terbuka promosi doktor yang berlangsung di Fakultas Filsafat UGM, Jumat (12/8).
Menurutnya, klaim kenabian atau apalagi kerasulan akan menimbulkan masalah dalam masyarakat karena logika setiap klaim kenabian atau kerasulan menuntut kepada setiap orang untuk menerima, membenarkan dan beriman kepada pengaku itu. Padahal, diantara para nabi sesungguhnya saling melengkapi dan menguatkan guna mengusung pesan yang intinya sama karena berasal dari Tuhan Yang Maha Esa. “Inilah substansi kenabian yang bersifat abadi,” katanya.
Oleh karena itu, manakala ada seseorang yang mengaku nabi di Indonesia yang membawa pesan tidak konsisten dengan pesan para nabi terdahulu, kata Agus, patutlah diragukan dan ditolak keabsahan kenabiannya. “Begitupun kesesuaian praktik-praktik keagamaan yang diajarkan para nabi haruslah sesuai dengan nilai-nilai luhur ilahiah,” tambahnya.
Dikatakan Agus, kenabian adalah salah satu wujud misi dan sifat keilahian di dunia. Bentuk atau wujud kenabian beragam dan berjenjang namun substansinya pada prinsipnya satu dan sama. Bahkan, dimungkinkan dalam tiap tradisi agama muncul bentuk kenabian yang berbeda baik istilah maupun konsepnya dan itu semua disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakatnya. “Apa yang dibutuhkan di tiap masa dan komunitas sangat mungkin berlainan dalam hal yang menjadi problem dan perhatian utamanya,” katanya.
Meski demikian, imbuhnya, lewat rasio, pengalaman empiris dan kemanfaatan yang timbul, serta setiap standar ukuran kebenaran yang mungkin bagi manusia kebanyakan gunakan barulah disadari keberadaan sang nabi yang otentik atau yang palsu. (Humas UGM/Gusti Grehenson)