Situasi saat ini mestinya tidak lagi disikapi dengan main-main. Semua semakin mengglobal dan tantangan di mana-mana semakin kompleks sehingga kehidupan kedepan dibayangkan semakin berat.
Meski begitu, kehidupan di masa depan bisa juga semakin menggairahkan bila mampu menghadapinya. Oleh karena itu, UGM menginginkan para mahasiswanya menjadi pemimpin di masa depan. Mereka diharapkan menjadi generasi baru yang mampu menghadapi tantangan global.
“Untuk itu, kami selalu mengusahakan agar para mahasiswa tidak hanya mendapatkan materi-materi teori di dalam kuliah, namun juga dapat belajar soft skill, bagaimana membangun network, mengembangkan spirit enterpreunership, dan bisa bertahan menghadapi tantangan kedepan,” kata Dr. Paripurna, S.H., M.Hum., LL.M, Wakil Rektor UGM Bidang Kerja Sama dan Alumni, di ruang Multimedia, Jum’at (12/8) saat membuka kegiatan Career Talk dan Explorations bertema “Leadership”.
Career Talk dan Explorations “Leadership” menghadirkan pembicara Nenny Soemawinata, Managing Director Putra Sampoerna Foundation. Kegiatan ini dihadiri mahasiswa-mahasiswa UGM program sarjana dan pascasarjana.
Nenny Soemawinata pada kesempatan itu mengingatkan mahasiswa untuk tidak hanya rajin kuliah, namun juga membangun soft skill leadership. Apalagi, sejak Desember 2015, Indonesia telah memasuki Masyarakat Ekonomi Asean (MEA).
Berlakunya MEA menandakan distribusi tenaga kerja profesional antar negara menjadi terbuka. Sayang, para tenaga ahli dari Singapura, Malaysia, Vietnam dan lain-lain berhasil menembus pasar kerja dalam negeri. Sementara itu, Indonesia justru kesulitan menembus pasar kerja luar negeri.
“Kita kadang tidak diterima kerja disana. Kenapa? karena sudah terbukti dan ada data kualitas pendidikan di Indonesia terendah di Asean. Makanya kita harus mengejar,” katanya.
Wacana di tahun 2030, kata Nenny, Indonesia diprediksi akan menjadi salah satu pelaku ekonomi terbesar dunia. Hal itu bisa terjadi bila sumber daya manusia di Indonesia bisa mengatur negara dengan baik. Sebaliknya, jika tidak bisa maka peran tersebut tentu saja akan diambil alih oleh negara lain.
“Karena itu, fasih berbahasa Inggris penting. Meski begitu, tidak sekadar paham bahasa Inggris dengan baik, tapi bagaimana kita bisa membangun mental dan mindset yang sama dengan orang asing. Bisa berdiri sama tegak dan bisa berargumentasi dengan orang asing manapun, Amerika, Perancis, Australia dan manapun, karena kita sebenarnya sama pintarnya, kita harus yakin itu,” tandas Nenny. (Humas UGM/ Agung)