Permukaan air tanah di wilayah Yogyakarta terus menunjukkan penurunan selama beberapa tahun terakhir karena maraknya pembangunan hotel, apartemen, mal, serta bangunan komersial lainnya. Diperkirakan, lima kecamatan di Yogyakarta akan mengalami krisis air, yaitu Gondokusuman, Mergangsan, Mantrijeron, Jetis, serta Umbulharjo.
“Kecamatan Gondokusuman merupakan daerah yang paling rawan krisis air karena merupakan wilayah padat penduduk dan juga banyak terdapat hotel yang menyedot banyak air tanah di sekitarnya,” kata Direktur Amrta Institute, Nila Ardhianie, Selasa (15/8) saat diskusi “Kemerdekaan dan Air Untuk Warga” di University Club (UC) UGM.
Jumlah hotel di Yogyakarta kian melonjak setiap tahunnya. Saat ini setidaknya terdapat 350 hotel berbintang di DIY dengan 15.000 kamar. Ditambah dengan 30 apartemen yang memiliki 12.000 kamar.
“Baik hotel maupun apartemen saat beroperasi menggunakan air tanah untuk memenuhi kebutuhan airnya. Hal itu tentunya sangat memengaruhi kondisi air tanah di sekitar bangunan hotel dan apartemen,” tuturnya.
Menurut Nila ketergantungan warga Yogyakarta terhadap air tanah sangat tinggi. Saat ini sekitar 51,83 % kebutuhan air warga Yogyakarta masih dipenuhi dari air tanah. Berbeda dengan kondisi di Jakarta dan sejumlah kota besar lainnya yang seluruh warganya memenuhi kebutuhan air dengan air permukaan atau PDAM.
“Air tanah di Jogja memiliki nilai rendah sehingga pemakaiannya cenderung berlebihan,” ujarnya.
Taif pajak air tanah di Yogyakarta Rp2000 per meter kubik. Sedangkan tarif air PDAM untuk bangunan komersial, termasuk hotel adalah Rp16.500 per meter kubik.
Nila menyebutkan sebagian besar hotel dan apartemen tidak menggunakan air PDAM dikarenakan biaya yang dikeluarkan cukup tinggi. Dia mencontohkan, hotel dengan 400 kamar membutuhkan dana Rp2 miliar per bulan. Sementara untuk membuat sumur dalam, hanya membutuhkan biaya sekitar Rp500 juta.
“Selain murah, mencuri air tanah juga sangat mudah dilakukan,” katanya.
Geolog Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta, Teguh Eko Paripurno menyampaikan permukaan air tanah di kawasan Yogyakarta dan Sleman terus menurun hingga 20-35 cm setiap tahunnya. Hal tersebut mengakibatkan warga mengalami kesulitan dalam mengakses air tanah.
Oleh karena itu, dia meminta semua pihak untuk bersama-sama memperbaiki tata kelola air tanah. Salah satunya dengan meningkatkan daerah imbuhan air. Dengan meningkatkan jumlah daerah resapan air yang mampu menambah air tanah secara alamiah diharapkan mampu mengatasi krisis air.
“Pastikan imbuhan air seimbang dengan air yang diambil atau digunakan sehingga tidak akan ada kelompok masyarakat yang dirugikan. Semua bisa berperan untuk meningkatkan penambahan imbuhan air ini,” tegasnya.
Dalam kesempatan itu turut hadir Prof. Frans Limahelu (Unair), Hendro Sangkoyo (Sekolah Ekonomika Demokratif), dan Hermawanto (konsultan hukum). (Humas UGM/Ika)