Di Indonesia, Trans-Pacific Partnership (TPP), telah menjadi wacana yang berkembang di ranah pemerintah pusat, dunia usaha, dan akademik. Namun, data dan kajian yang tersedia mengenai implikasi TPP bagi perekonomian Indonesia masih sangat terbatas, sehingga memengaruhi kesiapan pengambilan kebijakan pemerintah Indonesia terhadap TPP. Untuk itu, diperlukan kajian mendalam mengenai berbagai dampak dan konsekuensi dari bergabungnya Indonesia ke dalam TPP.
“TPP itu begitu besar. Jad, kita harus melihat satu per satu aspeknya, tetapi kita juga harus melihat secara makro karena satu sama lain saling berubungan,” ujar Kepala Departemen Ekonomi, Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Dr. Yose Rizal Damuri.
Ia menyampaikan hal ini saat menjadi moderator dalam seminar nasional dan diskusi publik bertajuk Menakar Kesiapan Indonesia untuk Bergabung dalam Trans-Pasific Partnership (TPP): Kajian terhadap Aspek Pengembangan dan Perlindungan Investasi serta Pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus yang diadakan oleh Pusat Studi Perdagangan Dunia (PSPD) UGM, Pusat Studi Asia Pasifik (PSAP) UGM, Center for Economics and Development Studies (CEDS) Universitas Padjajaran beserta CSIS, Senin (15/8) di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM.
Seminar ini merupakan agenda untuk memberikan gambaran proyeksi dampak TPP terhadap perekonomian Indonesia berdasarkan hasil kajian terhadap salah satu aspek kesepakatan dalam TPP, yaitu perlindungan investasi.
TPP yang bermula dari penandatanganan perjanjian pada tahun 2006 memiliki tujuan untuk mempererat ikatan ekonomi antarnegara anggota, memotong hambatan tarif, serta mendorong perdagangan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi. TPP kini beranggotakan 12 negara, termasuk diantaranya AS, Jepang, Singapura, Malaysia, dan Australia yang merupakan mitra dagang strategis Indonesia. Karena itu, pilihan Indonesia untuk bergabung atau tidak bergabung akan membawa perubahan yang cukup signifikan dalam kerja sama ekonomi yang dijalin dengan negara-negara tersebut.
“Lima dari sepuluh tujuan utama ekspor Indonesia adalah anggota TPP, dan lima dari sepuluh sumber impor utama juga dari negara tersebut. Kita harus benar-benar memikirkan kepentingan Indonesia dalam TPP,” papar Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Dr. Ir. Lukita Dinarsyah Tuwo, M.A., saat menyampaikan keynote speech.
Ia menyoroti berbagai aspek yang akan berpengaruh dari keputusan Indonesia terkait TPP, baik dari segi ekonomi, sosial politik, hingga hukum.
“Jika kita tidak mendapatkan fleksibilitas, aksesi ke TPP memerlukan perubahan terhadap sejumlah peraturan di Indonesia, termasuk 45 UU dan 50 PP,” imbuhnya.
Karena itu, ia menekankan pentingnya melakukan kajian yang menyeluruh dan mendalam sebelum mengambil keputusan, meski hal ini memerlukan proses yang relatif lama.
“Keputusan bergabung atau tidak bergabung bukanlah hal yang mudah, tapi kita harus mengerjakannya agar tidak menyesal nantinya. Yang penting adalah membangun Indonesia yang lebih produktif, kompetitif, dan berdaya saing,” ucapnya. (Humas UGM/Gloria)