Masalah penanggulangan bencana bukanlah masalah sektoral, tetapi masalah multi sektor karena terkait dengan kemiskinan, disabilitas dan lingkungan hidup. Sementara di Indonesia, tidak ada tempat yang benar-benar aman dari bencana.
Untuk itu, Badan Nasional Penanggulangan Bencana bekerjasama dengan perguruan tinggi, termasuk Universitas Gadjah Mada, menyelenggarakan Sekolah Sungai Nasional. Dengan sekolah ini diharapkan sungai-sungai di Indonesia menjadi sehat dan tidak lagi menjadi tempat banjir di musim penghujan.
“Faktanya hampir 500 kabupaten/ kota tidak ada satupun yang terbebas dari ancaman bencana. Jika tidak terkena banjir, kena gempa bumi. Kalau tidak gempa bumi, terkena letusan gunung berapi dan sebagainya,” ujar Lilik Kurniawan, S.T., M.Si, Direktur Pengurangan Risiko Bencana BNPB, di sela-sela kegiatan Pembekalan Fasilitator Sekolah Sungai, di Sekolah Vokasi UGM, Senin (22/8).
Lilik Kurniawan menandaskan Indonesia memiliki 12 ancaman bencana. Oleh karena itu, BNPB berharap siapapun yang menjadi pemimpin mestinya bersikap pro terhadap penanggulangan bencana. Karena setiap kali terjadi bencana maka yang paling dirugikan adalah masyarakat.
Pemimpin pro pada bencana, menurut Lilik, terlihat dari kebijakan-kebijakan yang diputuskan. BNPB tentu sangat menyayangkan jika ada pemimpin yang tidak pro pada bencana, karena sikap dasar pemimpin adalah melindungi masyarakatnya.
“Pada pembukaan UUD 1945 telah disebutkan melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah. Jadi perlindungan itu tidak hanya di masa perang, namun juga bencana. Karena bencana adalah ancaman nyata yang sekarang ada di depan kita,” tuturnya.
Menurut Lilik, keberadaan sungai juga bisa dimanfaatkan sebagai tempat edukasi masyarakat dalam upaya meningkatkan kualitas hidup. Dengan demikian, diharapkan pengelolaan sungai tidak lagi hanya dibebankan pada pemerintah, namun semua masyarakat. Sebab, jika dibebankan pemerintah maka hasilnya seperti yang terjadi saat ini, begitu pemerintah pergi maka sungai kembali kotor dan penuh sampah lagi.
“Edukasi Sekolah Sungai adalah masalah kultur. Jadi, Sekolah Sungai itu kita tujukan bagaimana merubah budaya agar masyarakat menghargai sungai, menghargai air dan kita hidup karena air,” jelasnya.
Dengan Sekolah Sungai, kata Lilik, diharapkan mampu membentuk relawan-relawan sungai lebih banyak lagi. BNPB menargetkan satu kabupaten/ kota terdapat 1000 relawan di akhir tahun.
“Sekolah Sungai angkatan kedua ini diikuti 15 kabupaten/ kota. Mestinya, target yang ingin dicapai 15 ribu relawan sungai. Bisa kita bayangkan dengan sebesar itu, tentu pasti akan ada dampaknya, kita yakin mampu memelihara sungai, menjaga sungai dan sebagainya,” katanya.
Wakil Rektor UGM Bidang Penelitian dan Pengabdian Masyarakat sekaligus Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Prof. Dr. Suratman, mengungkapkan Sekolah Sungai merupakan sekolah pertama di dunia. Sekolah ini mendahului 17 program Sustainable Development Goals (SDGs).
Menurutnya, penyelenggaraan Sekolah Sungai sudah sangat mendesak untuk dilakukan agar mampu menjawab kebutuhan masyarakat. Sebab, Indonesia telah memasuki ancaman krisis air yang berdampak pada krisis pangan, krisis energi dan lain-lain.
“Sekolah ini lahir di saat yang tepat di saat Indonesia menghadapi ancaman krisis air. Karena itu, untuk mewujudkannya perlu memperhatikan panca daya kali (sungai) istimewa, sungai itu harus urip, air yang memberi kehidupan, sungai waras, sungai yang menyehatkan, sungai wasis, sungai rapi indah, kali digdaya dan kali rahayu, sungai yang lestari,” tuturnya (Humas UGM/ Agung)