Dengan lebih dari 300 kelompok etnis dan 742 bahasa serta dialek lokal yang tersebar di lebih dari 17.500 pulau, keragaman menjadi suatu karakter yang melekat pada bangsa Indonesia. Dalam konteks kebangsaan, keragaman ini bisa menjadi pemicu timbulnya konflik antargolongan, tetapi juga bisa menjadi potensi terciptanya harmoni.
Hal ini disampaikan oleh dosen Antropologi UGM, Prof. Irwan Abdullah, dalam kegiatan Summer Course on Indonesian Philosophy yang mengangkat tema The Dynamics of Indonesian Philosophy: Problems and Challenges, Senin (22/8) di Fakultas Filsafat UGM. Ia memaparkan beberapa isu utama terkait keragaman dan persatuan bangsa, diantaranya terkait relasi antaretnis yang sarat dengan stereotip, dominasi etnis tertentu, dan kesenjangan antara penduduk asli dan pendatang, juga beberapa isu dalam hubungan antara pemerintah lokal dan pemerintah pusat, serta hubungan antara masyarakat lokal dan global.
Dalam konteks masyarakat saat ini, menurut Irwan, integrasi nasional tidak dapat didasarkan sebatas pada kesatuan secara politik. Karena itu, diperlukan suatu common ground yang menjadi landasan untuk membangun harmoni dalam masyarakat.
“Kesatuan politik dari sejumlah besar anggota berbagai kelompok yang berbeda tidak menjamin integrasi. Keragaman menawarkan suatu potensi untuk terciptanya harmoni, menjadi dasar bagi identitas kolektif yang melahirkan nasionalisme kultural, dan bukan sekadar nasionalisme politis,” paparnya.
Meski demikian, ia menyayangkan masih minimnya perhatian dari para akademisi terhadap potensi ini. Lebih lagi, ia juga menyayangkan semakin berkurangnya ketertarikan terhadap nilai-nilai Pancasila yang menjadi prinsip pemersatu bangsa.
“Saat ini hampir tidak ada yang berbicara mengenai Pancasila. Padahal, Pancasila adalah pondasi yang melandasi kehidupan bernegara,” tutur Irwan.
Dalam kesempatan yang sama, dosen Fakultas Filsafat UGM, Dr. Arqom Kuswanjono, menjelaskan mengenai semangat nasionalisme yang terkandung dalam Pancasila saat memberikan materi pengantar mengenai Filsafat Indonesia.
“Baik Yamin, Soepomo, maupun Soekarno meletakkan kesatuan dan nasionalisme pada urutan pertama dalam rumusan mereka mengenai dasar negara. Kita tidak dapat membangun Indonesia tanpa nasionalisme,” ujarnya.
Summer Course on Indonesian Philosophy 2016 merupakan sebuah kegiatan yang diselenggarakan oleh Fakultas Filsafat UGM untuk memperkenalkan dan mengeksplorasi beberapa isu krusial terkait filsafat Indonesia saat ini. Kegiatan yang berlangsung pada 22-26 Agustus 2016 ini diikuti oleh sekitar 30 peserta dari 5 negara, yakni Indonesia, Malaysia, Singapura, Rwanda, dan Burundi.
“Melalui kegiatan ini kami memberikan kesempatan kepada para akademisi untuk mendiskusikan berbagai hal terkait filsafat Indonesia. Harapannya kita dapat mendiseminasi filsafat Indonesia sebagai salah satu filsafat non-barat secara massive dalam arena internasional,” jelas Kepala Urusan Internasional dan Kerja Sama Fakultas Filsafat, Samsul Ma’arif, M.A. (Humas UGM/Gloria)