Guru Besar Fakultas Geografi UGM, Prof. Dr. Hartono, D.E.A., D.E.S.S., menilai penataan ruang di Indonesia belum dilakukan secara utuh dan menyeluruh. Akibatnya, tata ruang yang dihasilkan tidak seperti yang diharapkan sehingga menimbulkan berbagai dampak negatif baik bagi lingkungan maupun masyarakat.
“Di Indonesia ini, pengelolaan tata ruangnya tidak pernah komplet,” tuturnya saat ditemui di Fakultas Geografi UGM, Kamis (25/8).
Hartono mengatakan bahwa prinsip kerja dalam melakukan penataan ruang adalah dengan melakukan perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan monitoring, serta aksi. Namun, pada praktiknya tidak sedikit yang tidak melaksanakan secara lengkap prinsip-prinsip tersebut sehingga hasilnya tidak maksimal.
“Kerap terjadi, sudah membangun tetapi tidak pernah dicek kesesuaian dengan perencanaan tata ruangnya,” jelasnya.
Dia mencontohkan banyak terjadi pembangunan bangunan komersial yang didirikan tidak pada tempatnya seperti di kawasan hutan lindung maupun dekat pemukiman warga, pembangunan perkebunan sawit di lahan gambut dan lainnya. Akhirnya, hal tersebut menyebabkan kerusakan ekosistem dan lingkungan yang turut menyumbang terjadinya perubahan iklim dalam beberapa waktu terakhir.
“Perlu segera dilakukan penertiban pengelolaan tata ruang agar dalam pelaksanaannya bisa berjalan dengan baik dan sesuai dengan tata ruang yang telah dibuat,” tegasnya.
Adanya otonomi daerah, menurut Hartono, menjadi salah satu faktor yang turut berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan di berbagai daerah Indonesia. Kerusakan lingkungan semakin tinggi sejak adanya otonomi daerah karena pemerintah daerah dengan mudah mengeluarkan rekomendasi bagi perusahaan.
“Pemerintah pusat sudah tidak punya kendali. Banyak hotel, mall, dan bangunan komersial di bangun di dekat pemukiman warga yang menimbulkan persoalan air dan limbah,” ungkapnya.
Selain itu, adanya otonomi daerah menjadikan kepala daerah mudah memberikan izin konsesi hutan untuk perkebunan dan tambang. Hal ini mengakibatkan alih fungsi hutan berlangsung dengan cepat setiap tahunnya sehingga mengakibatkan kerusakan ekosistem hutan. (Humas UGM/Ika)