Global Regional Center of Expertise (RCE) Conference yang diadakan sejak tahun 2006 menjadi sarana untuk mempertemukan beragam stakeholder di bidang pembangunan berkelanjutan mulai dari pemerintah, komunitas, industri, LSM, organisasi internasional, serta akademisi, untuk mendiskusikan strategi dalam mencapai masa depan yang berkelanjutan. Tahun ini, UGM menjadi tuan rumah dari Global RCE Conference ke-10 yang akan diadakan pada 22-25 November mendatang.
Saat ini, terdapat 138 RCE di dunia dan sebagian diantaranya telah diakui sebagai anggota dari RCE Global yang dikoordinir oleh United Nations University-Institute of Advance Sciences (UNU-IAS) Jepang. Secara global, RCE memiliki komitmen untuk membangkitkan, meningkatkan, dan mengutamakan pendidikan berkelanjutan atau Education for Sustainable Development (ESD) dengan mengimplementasikan aksi-aksi global, khususnya untuk mencapai tujuan yang dirumuskan dalam Sustainable Development Goals (SDGs)
“RCE merupakan suatu jejaring antara individu, organisasi, atau institusi yang berkecimpung di bidang pendidikan baik formal, informal, ataupun nonformal, bergerak untuk menyampaikan pendidikan yang berkelanjutan kepada masyarakat lokal dan regional,” ujar Kepala Bagian Pengembangan Teknologi Tepat Guna, UMKM dan RCE, LPPM UGM, Dr. Puji Astuti, S.Si., M.Sc., Apt.
Hal ini ia sampaikan saat memperkenalkan RCE Yogyakarta sekaligus mensosialisasikan Global RCE Conference kepada perwakilan dari berbagai universitas, komunitas, serta instansi pemerintah di DIY, Jumat (26/8) di Ruang Multimedia UGM. Dalam kesempatan ini, ia mengajak para stakeholder untuk bersama-sama mengambil peran dalam membangun masyarakat, khususnya melalui pendidikan.
Hal serupa disampaikan oleh Wakil Rektor Bidang Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat dan Ketua LPPM UGM, Prof. Dr. Suratman, M.Sc., yang menekankan pentingnya membangkitkan semangat gotong royong sebagai ciri khas bangsa untuk membangun masa depan dunia.
“Untuk ke depan kita harus membangun kebersamaan antara pemerintah, akademisi, professional, LSM, industri, dan para investor untuk ESD. Kita harus bersama bergandeng tangan, karena itu adalah ciri bangsa kita,” tuturnya.
Dalam kesempatan ini ia menjelaskan mengenai penerapan kearifan lokal, khususnya konsep Hamemayu Hayuning Bawana, sebagai ciri khusus dari ESD di Yogyakarta. Konsep ini menghubungkan relasi antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam, serta manusia dengan Tuhan. Kesadaran akan pentingnya ketiga relasi ini akan mendorong setiap individu untuk memiliki mental yang lebih peduli terhadap lingkungannya.
“Perubahan mental itu penting untuk mencapai SDGs. Seorang camat atau kepala desa atau pemimpin lainnya, ketika mereka melihat lingkungan tercemar, lihat ada anak tidak sekolah, ada warganya tidak mampu berobat, harus ada kesadaran, segera turun dan perbaiki,” jelasnya.
Sebagai wujud komitmen terhadap upaya melakukan perubahan tersebut, dalam pertemuan ini juga dilakukan penandatanganan komitmen bersama dari para stakeholder yang hadir. Beberapa poin dari komitmen bersama ini di antaranya terkait kesanggupan untuk memberikan edukasi di bidang pembangunan berkelanjutan, serta memberikan pembelajaran dan aksi untuk menggerakkan bangsa ke arah kehidupan yang lebih berkelanjutan. (Humas UGM/Gloria)