Unversitas Gadjah Mada mengadakan Kongres Penyelenggara Pendidikan Filsafat Indonesia (KPPFI) 2016 di Balai Senat UGM pada Sabtu (27/8). Kongres tersebut menghadirkan beberapa narasumber, yakni Prof. Dr. M. Sastrapratejda SJ, Prof. Dr. Komaruddin Hidayat dan Dr. M. Mukhtasar. Acara KPPFI diikuti oleh dosen dan mahasiswa dari berbagai universitas yang memenuhi ruang Balai Senat UGM.
Kongres ini akan merumuskan konsep dan strategi untuk memajukan pendidikan filsafat di Indonesia. Selain itu, nantinya akan dihimpun asosiasi profesional yang mewadahi akademi filsafat dan akan dibicarakan setelah kongres. “Selama ini wadah tersebut ada tapi mungkin dengan platform yang berbeda-beda,” ujar Dr. Rizal Mustansyir, selaku moderator kongres.
Dialog dibuka dengan pemaparan materi oleh Sastrapratedja mengenai peran filsafat dalam membentuk kepribadian bangsa. Sastrapratedja menjelaskan bahwa secara luas peran filsafat dalam membentuk kepribadian bangsa sampai saat ini belum terlihat. Selain itu, Sastrapratedja juga menambahkan bahwa berfilsafat berarti menggunakan dimensi-dimensi kemanusiaan.
“Lewat dimensi kemanusiaan kita mengembangkan kepribadian pada level individu maupun kolektif sebagai bangsa,” tambah Sastrapratedja.
Selanjutnya, Sastrapratedja mengatakan bahwa salah satu tugas filsafat di zaman sekarang adalah pengembangan bentuk humanisme baru. Bentuk humanisme baru itu dapat menjawab pertanyaan; apakah arti menjadi manusia Indonesia masa kini dan masa depan?. “Humanisme yang dirumuskan filsafat mencoba menjawab tantangan-tantangan kita termasuk hidup berbangsa dan benegara,” jelas Sastrapratedja.
Dengan demikian, filsafat memiliki peran dalam kaitannya membangun kepribadian bangsa dan negara. Sastrapratedja menjelaskan bahwa untuk memahami kepribadian perlu dimengerti juga aspek-aspek pembentuk karakter, yaitu aspek kognitif, aspek afektif, dan aspek konatif.
Sementara itu, Komaruddin Hidayat memaparkan materi tentang dasar filosofi kedaulatan bangsa. Dari pemaparan Komaruddin, peran studi filsafat dapat diletakkan dalam konteks pencerahan social sehingga dapat disimpulkan bahwa peran filsafat adalah membentuk dan menata kehidupan bangsa.
Selanjutnya, Dr, M. Mukhtasar Syamsuddin, berkesempatan meyampaikan materinya mengenai filosofi kemandirian bangsa. Mukhtasar mengawali materinya dengan kisah Soekarno yang menjadikan Pancasila sebagai sumber dari segala hukum di Indonesia. Kemudian Mukhtasar menambahkan bahwa Soekarno juga mengajarkan mengenai konsep Trisakti yang berdaulat secara politik, berdikari dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian bangsa. “Konsep Trisakti memiliki kesamaan dengan konsep Saemaul Undong Koreaa Selatan, dimana semua itu bermuara pada gotong royong,” jelas Mukhtasar.
Mukhtassar juga mengatakan bahwa, Pancasila mempunyai peran penting dalam menjaga situasi keberagaman tetap kondusif. Pancasila akan menciptakan situasi kehidupan yang rukun dan saling menghargai di negeri ini. Muktassar juga menuturkan bahwa kemandirian bangsa yang kita cita-citakan itu bukan semata-mata memberikan otonomi kepada rakyat untuk membangun dirinya sendiri tanpa interaksi dengan negara lain. Akan tetapi, kemandirian bangsa yang kita wujudkan juga dapat membangun kemandirian bangsa di masa depan. Oleh karenanya, rakyat tidak dapat dilepaskan dalam mewujudkan kemandirian bangsa.
“Rakyat berposisi sebagai subjek perubahan, rakyat harus tetap solid dan tidak melakukan kesalahan-kelasahan,” tukas Mukhtassar. (Humas UGM/Catur)