Electro Chemical Machining (ECM) masih kurang populer di tengah masyarakat awam. Biasanya mereka sering mendengar istilah mesin bubut, mesin frais, mesin gergaji, yang termasuk dalam kategori mesin konvensional. Mesin ECM merupakan salah satu jenis mesin non-kovensional, dimana dalam proses permesinannya tidak terdapat kontak antara pahat dan benda kerja. Walaupun tanpa adanya kontak, mesin ini tetap bisa memotong benda kerja dengan sangat akurat.
Departemen Teknik Mesin dan Industri, dalam hal ini Dr. Andi Sudiarso dan Dr. Muslim Mahardika, menjadi pionir dalam pembuatan mesin ECM dengan dibantu oleh beberapa mahasiswa. Mesin yang baru pertama kali dibuat itu dirintis pada 2008-2009. Selanjutnya, 2010 dan 2011, berbekal dana dari Fakultas Teknik dan Departemen Teknik Mesin dan Industri, mesin ECM disempurnakan dan dihasilkan mesin ECM karya UGM generasi 1.
Pada 2013 – 2015, bekerjasama dengan Keio University, Jepang, dalam hal ini Prof. Norihisa Miki dan Dr. Gunawan Setia Prihandana (alumnus Teknik Mesin UGM angkatan 1999), mendapatkan kepercayaan pendanaan dari JICA (Japan International Cooperation Agency) sebesar 25.000 dolar. Berbekal dana tersebut mesin ECM generasi ke-2 pun sukses dibuat dengan kontrol yang lebih canggih. Pada 2015 – 2016 pengembangan mesin ECM terus dilakukan setelah mendapatkan dana penelitian dari Hibah IPTEK dari Kemenristek Dikti dengan total biaya riset sampai saat ini mencapai 350 juta.
Pada 5 Nopember 2015, karya ECM dari UGM ini dipresentasikan di hadapan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Dr. Ir. Mochamad Basoeki Hadimoeljono, M. Sc, dan turut disaksikan puluhan perusahaan industri manufaktur di Indonesia. Presentasi tersebut dilaksanakan dalam Forum Riset Industri Indonesia ke-7 tahun 2015 yang mengambil tema Akselerasi Kontribusi UGM Untuk Penguatan Daya Saing Bangsa melalui Industri Manufaktur, Infrastruktur, dan Teknologi Informasi yang diadakan di UGM Kampus, Jakarta.
Menurut Muslim Mahardika salah satu aplikasi mesin ECM ini adalah pembuatan microchannel pada lembaran SS 316L yang memiliki ketebalan 200 µm. Microchannel merupakan salah satu bagian penting pada microfilter. Sementara itu, Microfilter sendiri memiliki fungsi seperti dialyzer pada Wearable Artificial Kidney (WAK) atau lebih dikenal dengan sebutan ginjal buatan.
“Kelebihan dari microfilter dibandingkan dialyzer adalah ukurannya yang lebih kecil dan mampu mendistribusikan aliran darah pada tekanan 10 kPa (tekanan hidrostatis pada pembuluh darah di ginjal manusia),”kata Muslim, Rabu (31/8).
Dengan kelebihan tersebut maka microfilter mampu bekerja pada sistem WAK dengan tanpa bantuan alat lain seperti pompa yang digunakan untuk mengalirkan darah menuju ke WAK.
Keunggulan lainnya, selain tanpa ada kontak antara mesin dengan produk, harganya relatif lebih murah dibanding dengan ECM yang seluruhnya berasal dari impor dan dijual antara 1-2 milyar. Sementara itu, kalau ECM UGM ini akan dipasarkan dengan harga mulai 50-100 juta
“Murah karena 90% komponen berasal dari bahan lokal,” paparnya.
Komponen penyusun utama alat ini, kata Muslim, yaitu sistem kontrol, 2 sistem mekanik, 3 sistem sirkulasi elektoit, dan 4 power supplay. ECM yang dihasilkan ini adalah generasi 1 sampai 4, dan generasi 4 ini berdimensi besar untuk skala industri besar. Sedangkan generasi ketiga bersifat portabel dengan dimensi lebih kecil dan mudah dipindahtempatkan dengan pengoperasian yang bersifat manual maupun otomatis.
Hasil penelitian dari mesin ECM karya UGM ini juga sudah menghasilkan beberapa publikasi jurnal internasional yang terindeks oleh Scopus. Harapannya, mesin ECM ini akan bisa lebih memajukan industri manufaktur dalam negeri dan mengurangi produk impor dari luar negeri, sehingga Indonesia bisa lebih mandiri. (Humas UGM/Catur)