Pakar Hidrologi UGM, Prof.Dr.Ig.L. Setyawan Purnama, M.Si., menyebutkan setidaknya 50 persen kawasan Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman terancam mengalami krisis air. Laju penurunan permukaan air tanah di kedua daerah tersebut terus meningkat setiap tahun akibat tingginya kebutuhan air, sementara masukan air ke tanah justru semakin menurun.
“Kebutuhan air di Yogyakarta dan Sleman tinggi karena jumlah penduduk bertambah dan tingkat ekonominya naik sehingga memiliki kecenderungan penggunaan airnya tinggi,” kata guru besar Fakultas Geografi ini, saat ditemui Kamis (1/9).
Data Dinas pekerjaan Umum, Energi dan Sumberdaya Mineral DIY tahun 2011 mencatat penurunan muka air tanah di Yogyakarta mencapai 30 cm per tahun. Sementara di wilayah Sleman penurunan terjadi antara 15-30 cm tiap tahunnya. Penurunan air tanah tersebut terjadi 28 titik yang berada di cekungan air tanah (CAT) Yogyakarta-Sleman. Beberapa diantaranya seperti di Kecamatan Mlati, Kecamatan Ngemplak, Kecamatan Godean, Kecamatan Moyudan, Kecamatan Umbulharjo, Kecamatan Kotagede, dan Kecamatan Mergangsan.
“Kalau per tahunnya air tanah turun sampai 30 cm maka dalam 10 tahun bisa turun hingga 3 meter,” terang dosen Geografi Lingkungan ini.
Apabila masukan air tidak lebih banyak dari penggunaannya maka dikhawatirkan akan terjadi krisis air di masyarakat. Data Direktorat Tata Lingkungan, Geologi, dan Kawasan Pertambangan ESDM tahun 2011 menunjukkan potensi atau ketersediaan air tanah dangkal di wilayah Yogyakarta-Sleman mencapai 604 juta meter kubik per tahun. Sedangkan untuk tanah dalamnya sebesar 9 juta meter kubik per tahun. Di sisi lain, data Sensus Penduduk, BPS DIY tahun 2010 jumlah penduduk Sleman mencapai 1.093.110 jiwa dan Kota Yogyakarta 388.637 jiwa.
Sementara itu, dikatakan Iwan-sapaan akrab Setyawan Purnama, kebutuhan masyarakat di wilayah perkotaan mencapai 130 liter per hari. Melihat potensi air yang ada apabila tidak diimbangi dengan masukan air yang seimbang dikhawatirkan akan terjadi kerawanan air secara meluas di Kota Yogyakarta dan Sleman. Ditambah lagi dengan laju pertambahan penduduk yang terus meningkat setiap tahunnya.
Lebih lanjut Iwan mengatakan penurunan air tanah juga terjadi akibat berkurangnya daerah resapan karena maraknya konversi lahan. Lahan-lahan terbuka semakin sulit ditemukan karena diubah fungsinya menjadi perumahan dan bangunan komersial seperti mall, hotel, dan apartemen. Sejumlah wilayah resapan utama seperti daerah Pakem, luasannya semakin berkurang karena pertambahan penduduk.
Terkait maraknya pembangunan mall, hotel, serta apartemen yang disinyalir menjadi penyebab turunnya air tanah di wilayah Yogyakarta dan Sleman, menurut Iwan, baik hotel dan apartemen sebenarnya telah melakukan pengeboran air tanah dalam yang berada di bawah 40-110 meter. Fenomena menyusutnya air tanah permukaan warga di sekitar hotel maupun apartemen dimungkinkan karena lapisan lempung yang berada diantara air tanah dangkal yang sering disebut dengan formasi Yogyakarta dan air tanah dangkal yang dikenal dengan formasi Sleman tidak benar-benar kedap air.
“Ada kebocoran di lapisan lempung antara formasi Yogyakarta dan formasi Sleman. Hasil analisis data bor di Kota Yogyakarta menunjukkan di wilayah Kota Yogyakarta tidak ditemukan lapisan yang betul-betul kedap air atau lapisan semi kedap air. Lapisan lempung ada yang bercampur dengan pasir sehingga tidak kedap air,” paparnya.
Hal tersebut berpengaruh terhadap air tanah dangkal atau sumur-sumur warga di atasnya. Sumur-sumur warga di sekitar bangunan hotel menyusut bahkan tidak sedikit yang mengering. Kondisi ini juga berpengaruh terhadap penurunan air tanah secara global.
Iwan menyebutkan perlunya penerapan konsep “Zero Run Off” dengan segera untuk mengurangi penurunan air tanah yang terus meningkat. Adapun prinsip konsep ini diterapkan untuk mencegah aliran air di permukaan tanah. Implementasinya dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti pembuatan sumur, embung, serta tempat penampungan air hujan. Pembuatan resapan sebaiknya dilakukan di tingkat keluarga, institusi pemerintah, maupun perusahaan serta industri.
“Bisa dimulai dari kantor atau institusi dengan membuat aturan yang jelas untuk membuat sumur resapan atau embung,” katanya.
Demikian halnya dengan hotel, Iwan mengimbau untuk melakukan pembuatan sumur resapan. Pembuatannya seyogianya hingga kedalaman yang sama dengan kedalaman pengambilan air tanah.
“Belum ada yang membuat sumur resapan. Kedepan perlu dibuat aturan hotel berkewajiban membuat sumur resapan lebih dari 40 meter atau sedalam air yang diambil,” tandasnya.
Upaya lain yang dapat dilakukan untuk mengurangi penurunan air tanah bisa ditempuh dengan cara meningkatkan kapasitas PDAM dengan menggunakan sumber air dari sungai, bukan mengambil dari mata air pegunungan. Misalnya, untuk PDAM di Yogyakarta dapat mengambil air dari Kali Progo yang dialirkan ke Selokan Mataram.
“Air ini bisa dipakai untuk memenuhi kebutuhan mencuci dan mandi. Semarang sudah melakukan cara ini dengan menggunakan air Sungai Garang,” jelasnya.
Berikutnya, dengan menahan laju konversi lahan terbuka, terutama yang berada di daerah resapan air yaitu Sleman. Masyarakat pun bisa berkontribusi mencegah penurunan air tanah melalui gerakan hemat air dan memanfaatkan atau menampung air hujan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. (Humas UGM/Ika)