Sekitar 9,5 persen dari total wilayah karst Indonesia dengan luas 155.000 kilometer persegi rusak. Kerusakan bentang alam karst antara lain akibat dari aktivitas penambangan batu gamping dan alih fungsi lahan.
Pakar Karst UGM, Dr. Eko Haryono, M.Si., mengatakan persoalan utama dalam pengelolaan kawasan karst di Indonesia muncul akibat dari konsekuensi adanya desentralisasi kewenangan, khususnya kewenangan perijinan pertambangan batu gamping. Adanya desentralisasi kewenangan itu menjadikan peraturan-peraturan pengelolaan karst yang dikeluarkan pemerintah pusat menjadi tidak berjalan efektif. Meskipun sudah terdapat peraturan terkait penetapan kawasan karst, namun dalam implementasinya sering berlawanan dengan kebijakan politis kepala daerah yang memegang kewenangan pengelolaan.
“Kondisi ini menyebabkan kawasan karst mempunyai karakteristik yang hampir sama dapat menjadi kawasan lindung di satu kabupaten/kota/provinsi dapat menjadi kawasan budidaya di kabupaten/kota/provinsi lain,” jelasnya, Senin (5/9) di Fakultas Geografi UGM.
Persoalan lainnya terkait dengan belum adanya peraturan perundangan yang mengatur operasionalisasi konservasi bentang alam di Indonesia. Peraturan yang ada lebih mengatur pada konservasi biodiversitas dan budaya. Disamping itu, banyaknya pengajuan surat ijin pertambangan batu gamping di Jawa turut berkontribusi terhadap kerusakan bentang alam karst yang semakin masif.
“Sifat industri berbasis batu gamping yang cenderung mendekatkan pasar dengan bahan baku menyebabkan investor saling berlomba untuk menginvestasikan industri pertambangan batu gamping di Jawa sehingga kerusakan kawasan karst banyak terjadi di Pulau Jawa,” tutur Ketua Asia Union of Speleology (AUS) ini.
Eko menyampaikan setidaknya 20 persen dari total luas 1.228.538,5 hektar bentang alam karst di Jawa mengalami kerusakan. Kerusakan terjadi menyebar di sejumlah kawasan karst di Jawa dengan kerusakan terbesar terjadi di Jawa Timur, diikuti Jawa Barat lalu Jawa Tengah dan DIY.
Upaya pelestarian karst menjadi penting karena selain berfungsi sebagai kantong penyimpan cadangan air bersih, kawasan karst juga menjadi daerah penyerapan karbon. Bentang alam karst mampu menyerap karbon yang mencemari udara dalam jumlah besar yaitu sebesar 13,482 Giga gram per tahunnya.
Pengelolaan Karst Harus Komperehensif
Guna menahan laju kerusakan bentang alam karst, Eko menyebutkan bahwa dalam penetapan kebijakan pengelolaan kawasan karst hendaknya dipertimbangkan secara komperehensif. Kriteria penetapan kawasan fungsi lindung bentang alam karst sebaiknya tidak hanya didasarkan pada kriteria teknis seperti yang berlaku saat ini. Pasalnya, kriteria ini tidak akan berjalan efektif di era otonomi daerah. Kriteria-kriteria yang hanya berbasis pada kriteria teknis akan cenderung memicu timbulnya konflik dalam implementasinya.
“Kriteria kawasan karst yang bersifat teknis perlu dipadukan dengan kriteria relatif berbasis kepentingan dan keunikan,”jelas dosen Departemen Geografi Lingkungan UGM ini.
Nilai kepentingan menyangkut tata ruang dan konflik pemanfaatan lahan yang ada. Sementara itu, nilai keunikan berbasis pada kriteria teknis terkait perkembangan morfologi, hidrologi, dan hidrogeologi karst. Kawasan karst dengan konflik pemanfaat yang tinggi dapat dinilai memiliki kepentingan tinggi untuk dijadikan kawasan lindung. Di sisi lain, karst dengan perkembangan lanjut umumnya mempunyai keunikan tinggi diarahkan untuk kawasan fungsi lindung. Sedangkan kawasan karst yang dapat dijadikan kawasan budidaya diarahkan ke kawasan karst yang belum berkembang dengan konflik pemanfaatan yang rendah.
“Kepentingan yang dimaksud harus mempertimbangkan skala dan kedetilan informasi. Penetapan kawasan lindung tersebut dapat diusulkan melalui tahapan kawasan lindung dengan kepentingan nasional dan kawasan lindung dengan kepentingan pulau atau provinsi,”paparnya.
Secara nasional, pemerintah pusat harus menetapkan kawasan karst yang memiliki kepentingan dan keunikan tinggi. Sementara pada skala provinsi, penetapan kawasan lindung berdasarkan keunikan dan kepentingan provinsi.
Eko menekankan perlunya penyusunan peraturan perundangan yang mengatur operasionalisasi konservasi berbasis geodiversitas. Hal tersebut penting dilakukan agar pengelolaan kawasan karst memiliki pijakan hukum yang kuat. Selain itu, skema pengelolaan kawasan lindung di bawah UNESCO seperti warisan dunia atau cagar biosfer pun perlu didorong dalam rangka perlindungan karst yang memiliki nilai unggul.
Tidak hanya itu, kriteria spasial yang juga mendesak untuk disusun adalah terkait penetapan pemilihan gua untuk wisata alam. Wisata gua massal sebaiknya hanya dilakukan di gua-gua yang mempunyai energi tinggi dengan sirkulasi udara yang terhubung dengan udara luar. Gua-gua ini pada umumnya memiliki daya dukung yang lebih tinggi untuk menampung wisatawan. (Humas UGM/Ika)