Penegakan hukum secara efektif dalam perkara tindak pidana korupsi harus menghasilkan dihukumnya pelaku tindak pidana korupsi dan dihapuskannya atau setidaknya diminimalkannya kerugian negara melalui perampasan aset pelaku tindak pidana korupsi dan orang-orang terlibat atau ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi. Namun, penegakan hukum tersebut seringkali tidak tercapai sehingga kerugian negara akibat tindak pidana korupsi justru semakin bertambah. Dengan demikian, langkah gugatan perdata dalam rangka asset recovery di dalam perkara tindak pidana korupsi perlu dilaksanakan secara optimal untuk kepentingan pemulihan kerugian negara.
Pendapat tersebut disampaikan oleh advokat Hotma PD Sitompoel, S.H., L.L.M., dalam ujian terbuka promosi doktor di Fakultas Hukum UGM, Senin (5/9). Bertindak selaku promotor Prof Dr. Nindyo Pramono, S.H, M.S., dan Ko-promotor Prof. Dr. Edward OS Hiarej, S.H., L,L.M. Di depan tim penguji yang yang diketuai Prof. Dr. Marsudi Triatmodjo, S.H., LL.M., promovenduz menyampaikan disertasi yang berjudul Pelaksanaan Asset Recovery dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Menurut Hukum Pidana dan Hukum Perdata Indonesia. Menurut penelitian Hotma, jumlah perkara gugatan perdata yang ada hubungannya dengan perkara tindak pidana korupsi masih sangat sedikit jika dibandingkan dengan jumlah perkara penuntutan pidana terhadapa tindak pidana korupsi. “Minimnya jumlah perkara gugatan perdata yang berhubungan dengan perkara tindak pidana korupsi disebabkan oleh adanya hambatan-hambatan hukum yang berhubungan dengan pengajuan gugatan perdata,” kata Hotma.
Padahal, menurut Hotma, eksekusi berupa perampasan aset yang ada hubungannya dengan perkara tindak pidana korupsi dapat dilakukan sebelum si pelaku tindak pidana korupsi dijatuhi pidana. Namun demikian, ketentuan tersebut pada saat ini masih merupakan ius constituendum (hukum yang diharapkan) bukan ius constitutum (hukum yang berlaku).
Menurutnya, penyidik, penuntut umum dan hakim perlu memperhatikan bahwa penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi hendaknya ditujukan bukan hanya pada usaha untuk menjatuhkan hukuman seberat-beratnya terhadap pelaku tetapi juga untuk merampas semaksimal mungkin aset pelaku tindak pidana korupsi tersebut dan aset dari orang-orang yang mempunyai hubungan dekat dengan pelaku tindak pidana korupsi, sehingga aset yang berhasil dirampas dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pemulihan kerugian negara. “Untuk memaksimalkan perampasan aset dari orang-orang yang mempunyai hubungan dekat dengan pelaku tindak pidana korupsi, penyidik dan penuntut umum perlu mengusahakan agar penuntutan perlu digalakkan terhadap orang-orang yang memiliki aset dengan nilai tinggi, tidak memiliki sumber pendapatan yang halal sehingga memungkinkan dirinya memiliki aset tersebut,” kata Hotma yang lulus doktor dengan predikat cumlaude.
Selain itu, kerja sama yang erat antara instansi, sesama instansi penegak hukum dan instansi non penegak hukum seperti Kementerian Luar Negeri perlu digalakkan sehingga paspor si pelaku dapat ditarik. Hal itu dapat dilakukan untuk mengantisipasi mantan narapidana perkara tindak pidana korupsi dapat bebas bepergian ke luar negeri dan dapat berobat di luar negeri padahal kewajibannya untuk membayar ganti rugi kepada negara masih belum dibayar lunas.
Guru Besar Fakultas Hukum, Prof Nindyo Pramono., yang bertindak selaku promotor mengatakan sebagai doktor dalam bidang ilmu hukum, Hotma Sitompoel diharapkan konsisten memperjuangkan dan menyuarakan pemikirannya tentang pelaksanaan asset recovery dalam penegakan hukum di Indonesia. “Suatu saat pemikiran Anda akan diuji dan akan ditunggu masyarakat. Anda akan dituntut menyuarakan itu,” pesannya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)