Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tjahjo Kumolo, menyebutkan ada lima bentuk ancaman internal yang dihadapi oleh bangsa Indonesia sekarang ini. Kelima bentuk ancaman tersebut adalah radikalisme dan terorisme, narkoba, korupsi, ketimpangan sosial, dan penghinaan terhadap bangsa dan negara. Hal itu disampaikan Mendagri saat menjadi pembicara kunci dalam simposium Smart City yang berlangsung di gedung lengkung Sekolah Pascasarjana UGM, Rabu (7/9).
Untuk ancaman teorisme dan radikalisme, menurut Mendagri, saat ini menjadi perhatian serius pemerintah. Menurut Mendagri, sekarang ini ancaman radikalisme bisa muncul dimana-mana sehingga setiap anggota masyarakat diharuskan waspada terhadap ancaman radikalisme tersebut. “Kita tidak tahu diantara kita itu kawan atau lawan, bisa saja muncul ancaman radikalisme,” ujarnya.
Selanjutnya terkait narkoba, Mendagri menyebutkan penyebaran narkoba sudah kian masif sehingga penyelesaiannya pun memerlukan upaya ekstra. “Untuk ancaman narkoba, sekarang ini per RT (Rukun Tetangga) rata-rata ada 2 pengguna narkoba, dari sabu-sabu sampai menghirup lem,” katanya.
Soal korupsi, kata Mendagri, pemerintah mengawasi pos-pos anggaran yang selama ini menjadi tempat rawan dikorupsi oleh pengambil keputusan, “Menyangkut masalah perencaanan, retribusi pajak, dana bansos dan hibah, dan pos-pos anggaran daerah,” katanya.
Selanjutnya, kata Mendagri, ketimpangan sosial dan ekonomi Indonesia dalam 8 tahun terakhir sudah sangat mengkhawatirkan. Belum lagi soal tingkat gizi anak-anak, angka kematian ibu hamil yang masih tertinggi di dunia, sehingga perlu dilakukan berbagai program sanitasi yang sehat di berbagai pemukiman. “Kita jangan jauh melihat yang di Papua atau NTT, yang dekat bandara Soekarno Hatta saja, ada sebuah kelurahan dimana 90 persen penduduknya tidak punya MCK. Padahal, lokasinya berhadapan dengan bandara. Hal seperti ini perlu dibangun kesadaran kita semua,” katanya.
Sedangkan soal ancaman penghinaan terhadap negara, Mendagri sangat menyesalkan apabila masih ada yang melakukan penghinaan terhadap bangsa dan negara, “Pemerintah Jokowi berkomitmen terbuka terhadap kritik, tapi penghinaan yang memporak-porandakan persatuan dan kesatuan sangat kita sayangkan,” terangnya.
Mendagri dalam kesempatan tersebut sempat menyinggung program pemerintah untuk meningkatkan tata kelola dari pusat hingga daerah untuk bisa berjalan lebih efektif dan efisien, meskipun di Kemendagri sudah ada usulan untuk pembentukan daerah otonomi baru. “Sudah masuk 213 usulan daerah dan masyarakat untuk membentuk daerah oronomi baru. Orang di daerah ternyata lebih senang jadi kepala tikus daripada berada di buntut gajah. Sudah jadi wakil kepala daerah di atas penduduk satu juta, lebih puas ingin jadi kepala daerah yang mungkin penduduknya hanya dibawah 12 ribu,” katanya.
Mendagri mencontohkan ada salah satu daerah otonomi baru yang berusia 4 tahun, namun hingga saat belum mampu menentukan ibukota kabupaten yang tepat, “Apalagi untuk mampu mempercepat pembangunan dan kesejahteraan dengan benar,” katanya.
Dekan Fisipol UGM, Dr. Erwan Agus Purwanto, mengatakan pemerintah daerah saat ini dihadapkan dengan persoalan pelayanan masyarakat yang terus berubah dan berkembang. Menurutnya, hal itu tidak lepas dari proses evolusi global, pergeseran masyarakat industri ke digital. “Perkembang ICT dalam dua dekade terakhir, menghadapi perubahan radikal sehingga diperlukan inovasi pemerintah memberikan pelayanan kepada masyarakat, apalagi itu untuk masyarakat digital yang tinggal di perkotaan, menuntut pelayanan yang cepat dan murah,” katanya.
Simposium yang diselenggrakan oleh Fisipol UGM, Kemendagri, dan Microsfot Indonesia ini juga mengundang pembicara lainnya diantaranya Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri, Dr. Sony Sumarsono, dan Presdir Microsft Indonesia, Andreas Diantoro. Di sela-sela pembukaan simposium juga dilaksanakan penandatanganan kerja sama antara Kemendagri, UGM dan Microsoft untuk mendorong kesiapan pemerintah daerah dan masyarakat dalam mendukung percepatan pembangunan menuju kota pintar. (Humas UGM/Gusti Grehenson)