Polda DIY berencana mengamankan anak nongkrong pada tengah malam di pinggir jalan. Langkah tersebut dilakukan untuk mengantisipasi maraknya tindak kekerasan yang dilakukan oleh geng motor.
Pakar Psikologi Sosial Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Drs. Koentjoro, MBSc., Ph.D., menilai upaya yang dilakukan oleh Polda DIY merupakan langkah yang tepat. Hanya saja, dalam pelaksanaanya perlu dilakukan secara hati-hati.
“Jangan sampai salah dalam melakukan penertiban,” tegasnya, Rabu (7/9).
Koentjoro menyebutkan jangan sampai penertiban dilakukan secara merata ke semua kelompok nongkrong di Yogyakarta. Penertiban dapat dilakukan pada kelompok-kelompok nongkrong yang tidak memiliki kejelasan tujuan. Kelompok ini perlu ditertibkan untuk meminimalkan berbagai tindakan yang mengarah pada kenakalan maupun kriminalitas.
“Kebanyakan yang terjadi nongkrong di malam hari sangat dekat dengan miras dan kejahatan. Umumnya tindak kejahatan berawal dari kebiasaan nongkrong tidak jelas ini,” ujar Guru Besar Fakultas Psikologi UGM ini.
Sementara itu, aktivitas nongkrong yang menjadi bagian dari proses pembelajaran perilaku masyarakat dan ajang diskusi sebaiknya jangan dilarang aktivitasnya. Namun, aktivitas nongkrong yang bernilai positif hendaknya terus dikembangkan.
“Kalau nongkrong yang dilakukan kelompok pengangguran harus ditertibkan dan diarahkan pada kegiatan yang produktif,” saran Keontjoro.
Menurutnya, upaya penertiban nongkrong ini juga pantas dilakukan di Yogyakarta. Terlebih menyangkut persoalan etika daerah Yogyakarta yang dikenal sebagai kota pelajar dan budaya yang tidak mengenal budaya nongkrong.
“Berbicara nongkrong ini sebenarnya terkait dengan etika pantas atau tidak, kalau di Jogja tidak mengenal budaya nongkrong sehingga upaya penertiban nongkrong layak dijalankan,” jelasnya.
Terpisah, Pakar Hukum Pidana dari Fakultas Hukum UGM, Prof. Dr. Marcus Priyo Gunarto, S.H., M.Hum., menyampaikan aktivitas nongkrong di malam hari tanpa adanya tujuan yang jelas dan tidak bernilai manfaat layak ditertibkan oleh aparat kepolisian. Penertiban untuk kelompok semacam ini dapat dilakukan seperti halnya yang dilakukan pada penggelandang yang telah diatur dalam KUHP.
“Aktivitas nongrong tanpa adanya tujuan yang jelas bisa ditertibkan dengan aturan Pergelandangan karena melakukan perjalanan tanpa tujuan,” tuturnya.
Dalam pasal 505 ayat 1 KUHP menyatakan barangsiapa bergelandangan tanpa pencarian, diancam karena melakukan pergelandangan dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan. Sementara pada ayat kedua menyebutkan pergelandangan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih berumur di atas 16 tahun diancam dengan kurungan maksimal selama 6 bulan.
Marcus mengatakan bahwa segala aktivitas yang mengarah pada tindakan kriminalitas perlu diminimalkan. Oleh sebab itu, penertiban anak nongkrong tidak jelas patut dilakukan.
“Penertiban tidak harus dengan pemidanaan, namun bisa melalui jalur non hukum pidana yaitu dengan melakukan pembinaan,” jelasnya. (Humas UGM/Ika)