Pasar modal di berbagai negara termasuk Indonesia semakin berkembang, ditandai dengan semakin besarnya jumlah transaksi yang dilakukan. Transaksi per hari pada pasar modal Indonesia bahkan pernah mencapai angka Rp6,82 Triliun pada 19 Februari 2012. Namun, seiring perkembangan ini, pasar modal Indonesia juga menjadi semakin rentan terhadap praktik pencucian uang.
Kerentanan ini, menurut pengacara senior Augustinus Hutajulu, timbul dari transaksi pasar modal yang sangat kompleks namun juga sangat sederhana. Hal ini ia sampaikan saat mengikuti ujian terbuka program doktor beberapa waktu yang lalu di Fakultas Hukum.
“Di satu sisi, transaksi efek di pasar modal sangatlah kompleks, sarat dengan teknologi informasi dengan keamanan yang kompleks, volume perdagangan atas saham yang besar yang diikuti dengan berbagai jenis derivasi dari saham. Di sisi lain, transaksi efek juga sangat simple, proses pergeseran dana dan saham dapat dilakukan dengan cepat,” paparnya.
Secara umum, pencucian uang dapat dikatakan sebagai upaya untuk menyembunyikan asal-usul harta kekayaan yang merupakan hasil kejahatan melalui berbagai cara dan memasukkannya ke dalam sistem keuangan agar harta kekayaan hasil kejahatan tersebut menjadi kelihatan legal.
Namun, tambah Augustinus, ia belum menemukan tindak pidana di bidang pasar modal yang diputus di pengadilan dan telah berkekuatan hukum tetap. Berbeda halnya dengan Amerika Serikat yang pernah memvonis Bernard Madoff yang telah mengelabui ribuan investor pasar modal profesional dengan jumlah sebesar US$ 50 Milyar.
“Hal ini telah menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas penanggulangan atau penindakan tindak pidana pencucian uang di pasar modal Indonesia. Apakah keadaan itu memang disebabkan begitu efektifnya pencegahan tindak pidana di pasar modal atau senyatanya ada banyak terjadi tindak pidana tetapi tidak terdeteksi oleh lembaga pengatur dan pengawas,” jelas pendiri firma hukum AHRLAW ini.
Dari penelitian yang ia lakukan, Agustinus menyimpulkan bahwa penegakan hukum tindak pidana pencucian uang di pasar modal Indonesia telah berjalan tidak efektif. Keadaan ini bukan saja disebabkan aturan-aturan dalam UU PM telah ketinggalan dengan perkembangan teknologi informasi yang juga menghasilkan modus-modus baru tindak pidana pasar modal, adanya celah kelemahan dalam UU TPU, tetapi juga lemahnya kemauan dan kemampuan kelembagaan dan koordinasi yang terlibat dalam pemberantasan tindak pidana pencucian uang.
Karena itu, ia pun menyarankan agar pemerintah membentuk suatu tim pemantau yang bersifat trans-sektoral di bawah kendali langsung kepala negara, bersifat serta berfungsi intelijen dengan menggunakan metode dan peralatan berteknologi mutakhir guna mencari dan memberi informasi kepada para penegak hukum yang terlibat dalam penanggulangan tindak pidana pencucian uang.
“Penanggulangan tindak pidana pencucian uang di pasar modal pada masa mendatang haruslah dikoordinasi langsung oleh Presiden selaku Kepala Negara untuk mengnyinergikan seluruh pihak yang terlibat dalam penanggulangan tindak pidana pencucian uang,” ujarnya. (Humas UGM/Gloria)