Data Kementerian ESDM menunjukkan bahwa tren produksi minyak Indonesia terus menurun dari 945 barel/hari tahun 2010 hingga menjadi 794 barel/hari pada akhir tahun 2014. Kondisi ini mengharuskan pemerintah mengurangi ketergantungan terhadap minyak bumi dan mencari sumber energi alternatif untuk ketersediaan energi di masa depan, salah satunya dengan pencairan batu bara. Namun, pengembangan proses konversi batubara di Indonesia masih menemui berbagai permasalahan.
“Permasalahan pengembangan teknologi pencairan batubara Indonesia selama ini adalah belum tersedianya parameter dasar mengenai karakteristik batubara yang sesuai untuk teknologi pencairan batubara yang menghasilkan konversi tinggi,” ujar Harli Talla saat mengikuti ujian terbuka program doktor di Fakultas Teknik UGM belum lama lalu.
Proses konversi batubara menjadi cair, menurutnya, adalah proses yang sangat kompleks dan dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti karakteristik batubara, kondisi operasi, dan katalis. Karena itu, dalam disertasinya Harli meneliti karakteristik batubara dari tiga formasi, yaitu Formasi Unk (Cekungan Papua Utara), Formasi Balikpapan, dan Formasi Pulau Balang (Cekungan Kutai).
Hasil analisis proksimat yang ia lakukan menunjukkan bahwa batubara yang digunakan pada penelitian ini memiliki karakteristik yang berbeda-beda dari peringkat lignithv.bituminus C, dengan peringkat terendah ditempati oleh batubara Formasi Unk, sedangkan peringkat tertinggi adalah batubara Formasi Balang. Kajian petrografi yang dilakukan pun memberi informasi mengenai batubara yang memiliki potensi untuk dicairkan.
“Kajian petrografi organik batubara akan memberikan informasi mengenai potensi setiap peringkat batubara untuk dapat dikonversi menjadi produk cair. Batubara peringkat rendah Formasi Unk dan Formasi Balikpapan memiliki potensi untuk dicairkan,” jelasnya.
Lebih lanjut, ia menjelaskan, batubara Formasi Unk menghasilkan konversi paling tinggi mencapai 88,97% pada suhu 400°C dan batubara Formasi Balikpapan menghasilkan konversi rendah 84,86% pada suhu 425°C.
Sementara itu, terkait dengan kondisi geologi, Harli menemukan bahwa batubara yang terbentuk pada lingkungan transisi cenderung menghasilkan maseral reaktif, kadar hidrogen, oksigen, dan zat terbang yang tinggi. Karakteristik batubara seperti ini berpotensi untuk dicairkan, karena maseral reaktif memberikan kontribusi besar terhadap peningkatan konversi. Temuan ini dapat menjadi acuan untuk memprediksi persentase potensi cair batubara.
“Model korelasi antara karakteristik batubara dengan konversi dapat menjadi acuan dan referensi bagi penelitian pencairan batubara, memperkaya solusi pemanfaatan batubara bagi pemerintah dan perusahaan batubara, serta sebagai referensi ilmiah bagi pemerintah dalam merumuskan pemanfaatan batubara ke depan,” pungkasnya. (Humas UGM/Gloria)