Ilmu pengetahuan dan seni adalah dua hal yang saling berkaitan. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan dan seni hendaknya harus saling belajar agar mampu mengubah dunia.
Di satu sisi, ilmu pengetahuan perlu belajar dari seni agar temuannya dapat diterapkan di dunia secara efektif. Di sisi lain, seni perlu belajar dari ilmu pengetahuan agar proses kreatifnya mampu menjangkau dimensi-dimensi kehidupan yang lebih mendasar.
Demikian dikatakan Dr. G. R. Lono Lastoro Simatupang, M.A. saat menyampaikan orasi ilmiah pada puncak dies ke-33 Sekolah Pascasarjana UGM. Kepala Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Sekolah Pascasarjana UGM menyampaikan orasi berjudul Seni, Ilmu Pengetahuan, dan Perubahan.
“Seni tidak akan pernah mampu mengubah dunia secara sendirian karena seni pada hakikatnya merupakan proses mediasi yang terikat ruang dan waktu,” ujarnya di Sekolah Pascasarjana UGM, Kamis (8/9).
Menurut Lono Simatupang, jika dewasa ini dari pagi hingga malam seluruh dunia dikepung oleh bentuk dan jenis musik tertentu, maka hal itu terjadi karena ada perkawinan antara artscape dengan technoscape dan econoscape. Bahkan, para praktisi musik merasa cemas dengan gejala serupa dan berupaya melawan industrialisasi musik dengan berbagai cara.
Hal itu menandakan bila proses penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mencapai peningkatan martabat manusia tidak akan berjalan lancar tanpa pelibatan dimensi artistik sebagai pengarah ketertarikan dan pengalaman manusia. Karena itu, praktik-praktik seni yang bekerja dalam dan dengan obyek serta terbukti mampu menampilkan dimensi baru dari objek tersebut idealnya diapresiasi dalam ilmu pengetahuan.
“Ilmu pengetahuan selama ini cenderung ingin mencapai generalisasi sedangkan seni lebih mengutamakan keunikan dan kekhususan. Ilmu pengetahuan ditempuh melalui proses abstraksi untuk menemukan keteraturan esensi dalam berbagai kasus,” paparnya.
Ditambahkannya, seni senantiasa bekerja kasus per kasus melalui wujud-wujud yang konkret. Meski saat ini terjadi pergeseran paradigma dalam seni namun lebih mengarah pada terjadinya pergeseran itu sendiri demi diperolehnya pengalaman kehidupan yang baru, bukan tertuju pada terbentuknya paradigma yang ekstensif melampaui ruang dan waktu.
Meski begitu, ketika keduanya saling belajar maka terjadi perubahan paradigma pendidikan seni dari monodispilin menjadi multidisplin dalam artian lintas bidang seni. Kecenderungan pelintasan batas-batas konvensi bidang-bidang keilmuan itu akan semakin menguat.
“Sehingga dunia akademik tidak akan mengalami kesulitan berarti untuk mengikuti arah dinamika kajian seni yang sedang berlangsung di lingkungan pendidikan tinggi internasional,” tandasnya. (Humas UGM/ Agung)