Kanker payudara masih menjadi masalah kesehatan utama bagi wanita di seluruh dunia. Bahkan, angka kejadian penyakit ini terus mengalami peningkatan dalam 10 tahun terakhir di berbagai belahan dunia. Data International Agency for Research on cancer (IARC) GLOBOCAN tahun 2012 mencatat bahwa 1,7 juta wanita terdiagnosis (insidensi) kanker payudara atau sekitar 11,9 persen dari seluruh insidensi kanker. Sedangkan data WHO menunjukkan prevalensi kanker payudara di seluruh dunia mencapai 6,3 juta di akhir tahun 2012 yang tersebar di 140 negara.
Sementara itu, untuk kanker payudara HER2 positif dilaporkan mencapai 15-20 persen dari seluruh kanker payudara di dunia. Di Indonesia diperkirakan jumlahnya mencapai 10-30 persen dan dijumpai pada usia 10 tahun lebih muda dibandingkan dengan ras Kaukasoid.
dr.Woro Rukmi Pratiwi , M. Kes., Sp.PD., dosen bagian Farmakologi dan Terapi Fakultas kedokteran UGM, mengatakan bahwa kanker payudara HER2 positif berhubungan dengan hasil terapi yang buruk. Namun demikian, saat ini perkembangan terapi menggunakan antibodi monoclonal anti HER2 memberikan prognosis yang lebih baik untuk penderita kanker payudara HER2 positif.
“Berbagai pendekatan terapi telah dikembangkan dengan sangat cepat, termasuk digunakannya beberapa regimen baru seperti terapi adjuvant dan terapi target,” terangnya, Selasa (13/9) di Fakultas Kedokteran UGM.
Saat mempertahankan disertasi berjudul “Disease Free Survival, Kualitas Hidup dan Direct Medical Post Penderita Kanker payudara HER2 Positif Stadium Awal Yang Menjalani Kemoterapi Adjuvan Anti Her2 di RSUP Dr. Sardjito 2007-2014” dalam ujian terbuka Program Doktor Ilmu Kedokteran dan Kesehatan FK UGM, Woro menyampaikan berbagai pendekatan terapi yang telah dikembangkan tersebut memiliki hasil terapi kanker payudara yang masih sangat beragam. Luaran terapi pada kanker payudara stadium awal antara lain adalah Disease Free Survival (DFS) dan kualitas hidup. Meskipun penatalaksanaan kanker payudara HER2 positif stadium awal menggunakan anti HER2 efektif, tetapi penatalaksanaan secara komperehensif yang meliputi pembedahan, kemoterapi, dan radioterapi tetap diterapkan guna mendapatkan luaran terapi yang lebih baik.
Hasil penelitian yang dilakukan Woro pada 100 penderita kanker payudara HER2 positif stadium awal yang memperoleh terapi antiHER2 di RSUP Dr. Sardjito diketahui bahwa jenis regimen kemoterapi berbasis taxan dan jarak kemoterapi dengan radioterapi kurang atau sama 300 hari memengaruhi luaran terapi kanker HER2 positif stadium awal. Jarak antara radioterapi dengan kemoterapi yang semakin panjang meningkatkan risiko terjadinya peningkatan penyakit. Selain itu, juga meningkatkan biaya pengobatan pasien.
“Karenanya perlu dilakukan penjadwalan jarak radioterapi dengan kemoterapi yang lebih singkat yaitu kurang dari 210 hari untuk meningkatkan luaran terapi dan menurunkan biaya,” urainya. (Humas UGM/Ika)