Bencana banjir bandang di Garut yang terjadi pada Rabu dini haru lalu menegaskan bahwa Indonesia sebagai kawasan rawan bencana. Sepanjang tahun 2015 lalu setidaknya ada 162 kejadian bencana. Berdasarkan Data dan Informasi Bencana Indonesia disebutkan bahwa jumlah korban meninggal mencapai hingga 9.333 jiwa, 22.855 jiwa luka-luka, 1.418.947 mengungsi, dan 108.994 rumah rusak ringan dan 96.317 rumah rusak berat serta 274 ha luasan lahan mengalami kerusakan.
Berdasarkan data dan analisis potensi risiko bencana tersebut, Fakultas Geografi UGM mengupayakan strategi penanggulangan bencana yang terintegrasi dengan menawarkan konsep Ecosystem Based Disaster Risk Reduction atau EcoDRR. Bekerjasama dengan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada dan Sekolah Tinggi Meteorologi, Klimatologi dan dan Geofisika (STMKG), Fakultas Geografi menggelar Summer Short Course on Ecosystem Based Disaster Risk Reduction (EcoDRR) pada 14 – 28 September 2016 di Jakarta dan Yogyakarta. Kegiatan ini bertujuan untuk memperluas wawasan dan pengetahuan mengenai solusi pengurangan risiko bencana yang berkelanjutan memanfaatkan pendekatan ekologis. Kegiatan ini diikuti oleh 48 peserta yang merupakan mahasiswa dari 6 negara, yakni Nepal, Bangladesh, Philipina, Malaysia, Timor Leste dan Indonesia.
Prof. Dr. Muh Aris Marfai, selaku ketua pelaksana kegiatan, mengemukakan bahwa rangkaian Summer Short Course diharapkan menjadi ajang bagi mahasiswa dari berbagai negara untuk bertukar informasi dan pengalaman mengenai EcoDRR dalam berbagai format kegiatan, baik diskusi di kelas, kegiatan lapangan, hingga praktikum singkat. “Kegiatan ini memberikan peluang dialog antara akademisi, pengambil keputusan serta praktisi yang bergerak di bidang EcoDRR. Setidaknya, 20 peserta hadir dalam kegiatan ini, yang terdiri dari para ahli dari Nepal, India, Mesir dan Malaysia,” kata Aris Marfai, Kamis (22/9).
Lebih jauh Aris Marfai menerangkan selama ini praktik EcoDRR belum banyak mendapatkan perhatian dalam konteks pengambilan keputusan. Konsep EcoDRR, kata Aris Arfai, memperhatikan optimalisasi jasa lingkungan dengan pemantauan intervensi manusia terhadap lingkungan secara berkala guna meminimalkan peningkatan risiko bencana. Berbagai praktik seperti pengelolaan lahan berbasis masyarakat guna mencegah kekeringan, banjir maupun longsor, manajemen sumberdaya pesisir mencegah peningkatan muka air laut, tsunami ataupun abrasi, hingga pengendalian sistem hidrologis perkotaan untuk meminimalkan genangan banjir telah banyak dilakukan utamanya di negara-negara Asia. “Tantangan kita ke depan adalah memberikan peluang integrasi perencanaan pengurangan risiko bencana agar lebih bersinggungan dengan pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan,” katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)