Terdapat dua hal menonjol dalam melihat permasalah Gafatar (Gerakan Fajar Nusantara) di Indonesia. Pertama, kekerasan mengemuka akibat adanya sikap intoleransi yang datang dari pihak-pihak yang tidak suka.
Kedua, beberapa pihak begitu kuat memandang permasalahan Gafatar sebagai permasalahan hukum. Eks Gafatar merupakan perspektif korban akibat dilanggarnya jaminan rasa aman dan hak-hak sipil.
“Padahal mereka itu mestinya dilindungi oleh undang-undang. Ada konvensi dan undang-undang yang melindungi itu, namun perspektif negara memandang mereka (eks Gafatar) dianggap melanggar hukum karena dianggap menculik, makar dan sebagainya,” ujar Mohammad Iqbal Ahnaf, dalam diskusi “Negara dan Penanganan Konflik Sosial, Kasus Gafatar/ Millah Abraham”, di Sekolah Pascasarjana UGM, Jum’at (23/9).
Mohammad Iqbal mengakui ada problem hukum yang harus diperhatikan dalam melihat permasalahan Gafatar. Meski di lain pihak harus diperhatikan pula perspektif teori konflik, yaitu melihat permasalahan Gafatar dari dunia yang berbeda.
Menurut dosen Program Studi Agama dan Lintas Budaya UGM itu, dalam upaya menyelesaikan penanganan Gafatar mestinya tidak selalu dengan mengkompromikan. Upaya penyelesaian yang perlu dilakukan adalah bukan dengan negosiasi isu melainkan dengan negosiasi realitas.
Sebab, jika menggunakan negosiasi isu maka permasalahan akan selalu mengarah pada kesimpulan Gafatar sebagai gerakan sesat atau tidak sesat, Gafatar makar atau tidak makar. Bahkan, menggiring pada persepsi Gafatar menculik atau tidak menculik.
Ditandaskan Mohammad Iqbal, semua bermuara pada persoalan perspektif, cara pandang dunia. Oleh karena itu, upaya yang perlu didorong, termasuk kepada media adalah upaya-upaya yang mengarah pada negosiasi realitas.
Realitasnya ada orang yang tidak bisa makan, ada orang yang tidak punya rumah, ada orang yang kehilangan akses sehingga tidak bekerja. Dengan demikian, penderitaan-penderitaan yang dialami Gafatar adalah realitas.
“Karena itu, perlu merefren stories, yaitu menciptakan cerita-cerita yang membuat orang berpikir ulang apa yang sesungguhnya terjadi. Berupaya menciptakan cerita-cerita yang bisa menghadirkan sisi kemanusiaan,” tandas Iqbal.
Diskusi “Negara dan Penanganan Konflik Sosial, Kasus Gafatar/ Millah Abraham digelar Program Studi Agama dan Lintas Budaya, Center for Religious and Cross-cultural Studies, Sekolah Pascasarjana Lintas Disiplin, UGM. Selain Mohammad Iqbal, hadir dan turut menjadi nara sumber Hadi Suparyono (Eks-Gafatar) dan Thowik (Serikat Jurnalis untuk Keberagaman/ SEJUK) dengan moderator Dr. Zainal Abidin Bagir. (Humas UGM/ Agung)