Diantara gang sempit di sebuah kampung Banjar Kemuning, Selong, Lombok Timur, Siti Salbiah (53) terlihat duduk termenung diantara barang dagangan di warung kelontong miliknya. Hari itu hanya ada satu dua pembeli yang datang ke warung kecil yang berada di depan rumahnya itu. Warung itu menjadi satu-satunya ladang penghasilan Siti untuk menghidupi kelima anaknya.
Sebelumnya, dia sempat menjalani kehidupan yang lumayan mapan. Namun, sejak sang suami meninggal akibat terkena malaria pada 2007 silam, Siti harus bekerja keras membanting tulang sendirian untuk membuat asap dapurnya terus mengepul. Mengandalkan uang pensiun janda dari suami yang seorang guru SMP tidak cukup untuk menghidupi mereka berenam.
“Penghasilan dari warung setiap bulannya rata-rata Rp200 ribu kita cukup-cukupkan untuk menjalani hidup,” katanya belum lama ini.
Meskipun hidup menjanda, Siti selalu berjuang keras agar semua anaknya bisa mendapatkan pendidikan yang layak hingga bangku perguruan tinggi. Dia selalu teringat pesan mendiang suami yang selalu menegaskan untuk menomorsatukan pendidikan bagi anak-anak.
“Sebagai orang tua kami tidak bisa memberikan ataupun meninggalkan harta yang berkecukupan bagi anak-anak, tetapi sebisa mungkin bagaimanapun jalannya anak-anak terus sekolah dan bisa kuliah,” ungkapnya.
Berjuang seorang diri membesarkan lima orang anak bukanlah hal yang mudah untuk dijalani Siti. Namun, melihat semangat anak-anaknya dalam belajar menjadikannya semakin tabah dan kuat menjalani hidup. Alhasil, dia bisa meluluskan dua anaknya dari perguruan tinggi. Bahkan, saat ini anak tengahnya, Emutya Amalia Qurani, berhasil masuk kuliah di UGM. Sementara dua anak kembarnya masih duduk di bangku kelas 6 SD.
“Bersyukur sekali doa-doa saya bisa terkabul. Bangga anak bisa masuk kuliah di universitas ternama seperti UGM ini,” ucapnya.
Emutya Amalia Qurani kini resmi tercatat sebagai mahasiswa baru di Departemen Ilmu Komputer Fakultas MIPA. Dia berhasil masuk UGM tanpa tes dan memperoleh Beasiswa Program Bidik Misi untuk anak berprestasi dari keluarga kurang mampu.
“Perasaanya luar biasa sekali, akhirnya bisa diterima masuk UGM,” kata Rani, sapaan akrab Emutya Amalia Qurani.
Emutya mengaku tidak pernah mengeluh akan kehidupannya yang serba terbatas. Paham dengan kondisi keluarganya, tidak sekalipun ia menuntut bisa sekolah hingga jenjang perguruan tinggi. Dia berusaha untuk menyenangkan ibunya dengan rajin belajar dan berprestasi. Selama duduk di bangku SMA, posisi lima besar dikelas tak pernah lepas dari genggamannya.
Diterima kuliah di UGM menjadi anugerah bagi Rani, apalagi tanpa harus membebani ibunya. Melalui program Beasiswa Bidik Misi, selama 8 semester kedepan dia bisa tenang menjalani kuliah tanpa dipungut biaya sepeser pun.
“Semoga saya bisa lancar menjalani kuliah dan kelak bisa sukses serta bisa membanggakan dan membahagiakan ibu serta adik-adik,”harapnya. (Humas UGM/Ika)