Sustainable tourism perlu dikembangkan karena keuntungan yang didapat dari sektor ini langsung dirasakan masyarakat. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah tidak salah bila saat ini mencanangkan pariwisata sebagai core bisnis.
“Karena di tengah berbagai komoditas yang lagi turun, minyak turun, batubara turun, kelapa sawit turun, maka satu-satunya yang tidak mengalami penurunan adalah pariwisata. Sektor ini sebenarnya mudah dilakukan dengan modal yang tidak terlalu besar, cukup dengan mengangkat potensi yang dimiliki daerah,” kata Dr. Hari Untoro Drajat, staf ahli dari Kementerian Pariwisata RI, di Sekolah Pascasarjana UGM, Kamis (29/9).
Berbicara di sela-sela penyelenggaraan tahun kedua Internasional Academic Conference on Tourism 2016 (INTACT), Hari Untoro mengatakan dengan community base, cultural base dan lain-lain dan pariwisata yang mendasarkan pada people to people contact maka banyak keuntungan yang bisa diperoleh masyarakat. Untuk community base, misalnya, maka seperti kapal-kapal pinisi yang belum maksimal perlu diangkat kembali.
“Maka perlu pula kita dikembangkan live boat, kapal yang bisa ditinggali. Seperti kapal-kapal pinisi perlu dikembangkan ke depan karena keuntungan ada di masyarakat,” katanya.
Internasional Academic Conference on Tourism 2016 digelar Pusat Studi Pariwisata UGM bekerjasama dengan Kemenristek Dikti, Kementerian Pariwisata dan PT. Lintas Ekowisata Indonesia. Kegiatan yang dibuka Rektor UGM, Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, M.Sc., Ph.D., menghadirkan sejumlah pembicara, diantaranya Prof. Richard Butler, Dr. Michael Lueck dan Prof. Heddy Shri Ahimsa-Putra. Hadir pula Dr. Frans Teguh, prof. Jamaludin Jompa dan Maulita Sari Hani Hutapea, M. Tourism .
Dr. Paripurna P. Sugarda, S.H., L.L.M, Wakil Rektor Bidang Kerja Sama dan Alumni UGM, menyambut baik penyelenggaraan INTACT 2016. Menurutnya, Indonesia merupakan merupakan negara dengan tingkat diversitas budaya, diversitas biota laut dan adat. Selain itu, Indonesia juga memiliki objek-objek wisata yang sangat bermacam-macam, seperti pantai, gunung, volcano, dan lain-lain.
“Dan yang tidak ketinggalan adalah masyarakat yang khas, adat istiadat, juga keramahan masyarakat Indonesia. Meski begitu, pekerjaan rumah masih banyak, terutama infrastruktur tourism yang masih terbatas,” katanya.
Seperti objek wisata Raja Ampat, sesungguhnya sudah lama sekali. Namun, baru akhir-akhir ini mengalami keramaian, meski infrastruktur belum berkembang baik tetapi sudah banyak yang berminat kesana.
Paripurna mengakui akomodasi, transportasi, dan modal investasi penting. Meski begitu, yang tak kalah penting adalah pemanfaatan langsung bagi masyarakat sekitar. Oleh karena itu, UGM fokus terhadap pengembangan tourism object, sehingga nantinya masyarakat diharapkan tidak terpinggirkan.
“Sebagai salah satu kasus, di Raja Ampat teman-teman KKN UGM mendekati masyarakat, mencoba memberi nilai tambah apa yang bisa dihasilkan masyarakat terkait dengan torism. Tourism harus embeded dengan ekonomi kreatif, yaitu pengembangan usaha. Karena itu, masyarakat disana diajari dari menjual sagu sebagai bahan mentah, ditingkatkan menjadi menjual kue pukis yang menghasilkan puluhan kali lipat. Mereka diajari cara membuat, higienisnya, packagingnya hingga dibantu sampai marketingnya,” papar Paripurna.
Sementara itu, peneliti senior Puspar UGM, Dr. Adjie Koesworo, menambahkan archipelago tourism selain sebagai economic activity, juga bisa mendatangkan keuntungan-keuntungan psikologis, religious dan cultural. Karena esensi mahluk berwisata adalah soal melengkapkan kemanusiaan dalam konteks menjadikan bangsa yang archipelagic.
“Itu yang perlu dikembangkan, selain ekonomi opportunity yang didapat, maka kita bisa pula melakukan dimensi-dimensi non ekonomik pada waktu yang sama,” tuturnya. (Humas UGM/ Agung)