Model pembangunan desa lewat program transmigrasi akan dijadikan konsep dalam pembagunan desa di Indonesia. Pasalnya, selama pelaksanaan transmigrasi sejak era Orde Baru telah berhasil menciptakan 1.100 desa mandiri, 383 ibu kota kecamatan, 104 ibu kota kabupaten. “Model transmigrasi kita jadikan untuk pembangunan desa, bukan alasan perpindahan penduduk tapi lebih ke pemberdayaan masyarakat,” kata Menteri Menteri Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Trasmigrasi, Eko Putro Sanjoyo, dalam Focus Group Discussion yang bertajuk Transmigrasi Membangkitkan Industrialisasi Pertanian dari Pinggiran di Hotel Eeastparc Yogyakarta, Jumat (30/9).
Menurut Menteri keberhasilan masyarakat transmigrasi yang membentuk koperasi dan Badan Usaha Desa akan diduplikasi di 74 ribu desa di Indonesia. Apalagi, jumlah desa diperkirakan akan bertambah lebih banyak. “Jumlah desa akan bertambah 74 ribu sehingga akan ada 74.954 desa,” katanya.
Meski jumlah desa semakin bertambah, namun 80 persen penduduk desa hidupnya dari sektor pertanian. Sementara komoditas pertanian yang hasilkan rata-rata tidak dalam skala besar dan tidak memiliki sarana pengolahan pascapanen. “Desa yang miskin biasanya saat panen harga komoditasnya jatuh karena tidak memiliki sarana pengolahan pascapanen. Kalau pun ada subsidi tidak ada artinya saat panen, biaya produksi lebih mahal dari harga jual,” katanya.
Pemerintah akan mendorong pembangunan sarana pengolahan pascapanen, namun desa tersebut mampu menghasilkan produksi salah satu komoditas dalam skala besar. “Desa harus fokus, satu desa satu produk. Misalnya, satu desa hanya hasilkan satu ton jagung untuk satu periode panen tidak bisa untuk dibuat sarana itu, tapi kalau seribu ton, mungkin dibangun sarana pengolahan pascapanen,”katanya.
Mantan Menteri Trasmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan, Siswono Yudo Husodo, menilai kebijakan transmigrasi mengalami penurunan karena jumlah transmigran dari tahun ketahun makin mengecil sejak 1999. Menurutnya, program transmigrasi yang dilakukan pemerintah Orde Baru dilakukan untuk meningkatkan produksi pangan. “Tidak heran bila sekarang ini kita impor pangan. Pangan kita menguras begitu banyak devisa karena kelengahan kita atas kebijakan transmigrasi,” katanya.
Siswono menuturkan lahan yang dikelola petani selama ini untuk produksi pangan hanya 8,5 juta hektar. Padahal, jumlah penduduk sudah mencapai 250 juta lebih. Jumlah tersebut tidak cukup. “Produksi pangan kita tidak mungkin cukup, angka rasionya hanya 450 meter persegi lahan pangan per kapita. Di Thailand sudah 5 ribu meter persegi per kapita untuk pangan sehingga mereka bisa ekspor beras dan jagung ke seluruh dunia,”urainya.
Sementara Guru Besar UI, Prof. Sri Edi Swasono, mengatakan kebijakan transmigrasi adalah upaya membentuk mutualisme nasional atau mutualisme antardaerah namun alasan untuk mengurangi kelebihan penduduk hendaknya jangan menjadi titik tolak utama dalam kebijakan transmigrasi. Menurutnya, transmigrasi perlu secara langsung dikaitkan dengan semangat daerah untuk membangun, “Daerah membuat perencanaan pembangunan spesifiknya masing-masing dan transmigrasi menampung dan menyangga kebutuhan spesifik daerah tersebut,” ujarnya.
Wakil Rektor Bidang Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat UGM, Prof Dr Suratman, M.Sc, menuturkan pentingnya kebijakan transmigrasi untuk diperkuat kembali karena masih ada disparitas pembangunan di daerah, sehingga perlu memperkuat daerah pinggiran dan perbatasan lewat program transmigrasi. UGM, menurut Suratman, berencana melaksanakan kegiatan program Kuliah Kerja Nyata (KKN) khusus di daerah transmigrasi.”Ada rencana 40 PTN sepakat untuk terlibat ikut ini,” pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)